Kebahagiaan?

161 18 0
                                    

Kahfi datang ke rumah sakit yang menyimpan santri yang merupakan korban dengan menggandeng tangan istrinya, pria itu berjalan dengan santai sembari menatap petugas rumah sakit. Entah mengapa di dalam lubuk hatinya, dirinya merasa Faris tidak bersalah dalam hal ini. Pasti ada kesalahan kecil yang membuat Faris tak bisa berkutik dan membela diri.

"Santriwan atau santriwati sih mas?" tanya Halwa penasaran.

"Santriwan sayang." Kahfi mengelus puncak kepala Halwa dengan lembut.

Alis Halwa terangkat satu, "Loh ngapain Faris culik laki-laki? Ngga masuk di akal kali mas, kecuali yang di culik itu perempuan. Baru deh masuk akal," ujar Halwa yang mengeluarkan unek-uneknya.

Langkah kaki Kahfi berhenti seketika, dan di ikuti oleh istrinya. Kahfi hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban untuk istrinya. Wanita itu mengerucutkan bibirnya, karena merasa tak puas dengan jawaban Kahfi.

"Apalaa."

"Ucapan kamu jangan tiru tiru Anes, sayang." Kahfi mencubit kedua pipi Halwa dengan gemas.

"Udah yok, samperin Anes. Sekarang Anes membutuhkan kita berdua, dia terlalu terkejut dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba."

Halwa mengangguk, membenarkan ucapan yang di lontarkan oleh suaminya. Wanita itu menggandeng jemari suaminya dan melanjutkan langkahnya kembali.

---

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam ustadz," balas salah satu orang yang menjaga Aneesha.

"Kamu sendirian di sini?" tanya Kahfi kepada orang itu, yang ternyata seorang perempuan.

"Na'am, tadinya saya dengan teman saya laki-laki. Tapi sepertinya A Faris ngga mau kalau ada laki-laki yang ikut menjaga istrinya, makanya teman saya tadi ikut keluar, ustadz." Gadis itu menerangkan dengan wajah yang tertunduk ke bawah.

"Alhamdulillah, anak saya belum siuman nak?" tanya Halwa hati-hati.

"Na'am, tapi kata dokter mungkin sebentar lagi akan siuman. Dan bayi yang ada di kandungan temennya juga baik-baik saja."

Halwa dan Kahfi mengangguk mengerti. Pria itu menyuruh santrinya keluar dari ruangan, pria itu juga membekali beberapa uang untuk santrinya supaya bisa membeli makanan yang ada di kantin.

Setelah santri itu pergi, Halwa segera menghampiri Aneesha yang masih asik menutup matanya. Halwa menangis, merasa sedih dengan keadaan putrinya. Wanita itu juga mengelus perut Aneesha yang terlihat sedikit membuncit, beberapa minggu lagi akan ada sosok bayi yang akan lahir dari perut putrinya.

"Bangun nak, kamu gak kasian sama utun?" bisik Halwa lirih.

"Utun pasti rindu ummahnya sayang," bisiknya lagi, tetapi kini dengan air mata yang keluar dari sudut matanya secara perlahan.

"Bangun ya sayang? Kalau utun cariin ummahnya gimana?" lirih Halwa pilu.

Kahfi yang mendengarnya pun tak mampu membendung air matanya lagi. Pria itu menangis dengan ucapan ucapan yang keluar dari mulut istrinya, terasa begitu menusuk hatinya.

"Kamu yang sabar ya?" Kahfi mendekat ke Halwa dan merangkul bahu istrinya, tetapi Halwa justru menggeleng dan mendorong tubuh suaminya supaya menjauh dari tubuhnya.

"Gimana bisa sabar mas? Putriku belum siuman!" gertak Halwa dengan nada yang tertahan.

Namun, mereka tak menyadari jika ada seseorang yang sedari tadi mendengarkan ucapan mereka. Orang itu juga itu meneteskan air matanya, tetapi sama sekali tak bisa berbicara.

"Maaf, maafkan aku." lirihnya pelan.

---

"Ris, kamu beneran?" tanya Hasbi —teman Faris di Bogor.

"Gimana lagi? Bukannya ga boleh keluar ya?" tanya Faris dengan santai.

"Ya kan bisa tuh kita omong omong dulu sama petugasnya? Kan kali aja ada keringanan!"

"Percuma!"

"Ya kan di coba dulu Ris! Kasian tuh istrimu, belum bangun sampai sekarang."

Faris mendongak, menatap temannya yang selalu membantunya saat dia berada di kota ini. Mata laki-laki itu berkaca-kaca, sedangkan yang di tatap pun kebingungan.

"E-eh, antum kenapa Ris?" tanya Hasbi panik.

Faris menggeleng, kemudian tersenyum manis. Laki-laki itu memilih duduk di lantai, dan di ikuti oleh Hasbi. Faris memilih untuk me menggelengkan wajahnya ke dalam kedua tangannya.

"Lebih baik aku tak melihat keadaannya sekarang. Aku takut bukannya merawat istriku, aku justru menambah beban Abi. Sungguh, aku tak kuat melihat istriku dalam keadaan itu. Jika boleh memilih, maka biarlah aku saja yang menggantikannya. Aku tak mampu ... Sungguh." Selesai mengucapkan itu Faris langsung terisak kecil, dia membayangkan istrinya yang masih di bawah alam sadarnya.

"Apakah dia baik baik saja di sana? Siapa yang ia temui di sana? Bagaimana kalau dia dan utun lebih nyaman berada di sana? Lalu dia pergi meninggalkan aku?"

Faris mendongak, menatap mata Hasbi dengan tatapan berkaca-kaca. Faris menutup matanya menggunakan kedua tangannya.

"Ris, kamu yang sabar ya? Pasti Allah kasih jalan yang terbaik untuk kalian berdua. Percaya Ris, di depan sana ada kebahagiaan yang menunggu. Janji Allah itu nyata Ris, kamu harus inget itu!" Hasbi berusaha meyakinkan Faris, laki-laki itu juga menepuk-nepuk bahu Faris supaya Faris bisa sedikit merasa senang.

"Aku tadi ingin melihat istriku, tapi aku justru mendengar keluhan mertuaku. Mungkin kalau aku ngga nekat pergi ke kota ini, mungkin kejadian ini ngga akan terjadi."

"Huss, bilang apa kamu Ris?" tanya Hasbi sedikit marah dengan lontaran Faris.

"Memang benarkan Bi?" Faris mendongak, ingin melihat jawaban dari mulut Hasbi.

"Ngga, kamu salah kalau mikir gitu. Semua yang terjadi hari ini, sudah tertulis di lauhul mahfudz. Semua kejadian masa lalu, masa kini dan masa depan, sudah ada di sana Ris. Sudah takdirnya begini, dan kamu harus kuat menjalaninya. Ini salah satu cobaan, kalau kamu bisa menjalani dengan hati ikhlas, akan ada hadiahnya di surga nanti Ris!"

Faris hanya bisa mengangguk kecil, pikirannya melayang kemana-mana. Otaknya sudah tak bisa lagi mencerna semua yang ada saat ini.

"Oke deh."

Hasbi menghembuskan napasnya, dia menepuk-nepuk kembali pundak Faris.

"Yang sabar ya Ris!"

"Na'am Bi."

"Yaudah yuk, mau pergi ke dalam atau mau lihat istrimu?"

"Ke dalam aja Bi."

Hasbi tak bisa menolak lagi, daripada temannya kembali mengada-ngada. Lebih baik dia menuruti kemauan temannya itu.

---



Living With Mas Santri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang