Matahari mulai terbenam, siluet menyoroti setiap sudut ventilasi dan kaca jendela. Keramaian padat merayap di jalan raya oleh kendaraan bermotor para buruh pabrik, suasana sesak yang sering terlihat setiap hari di daerah industri.
Di sebuah rumah sepanjang dua atap yang terdiri dari empat kamar di mana kamar itu posisinya berjajar dua-dua saling berhadapan, Guntur dengan tampilannya yang compang-camping bertelanjang dada sedang mendengarkan musik dengan earphone di telinga sambil berbaring di atas kasur.
"Kak Guntur, cepat mandi!" Teriak Della saat masuk kamar sembari melempar handuk. Dia adalah adik tertua Guntur yang hanya selisih dua tahun dan berada di bangku kelas 3 SMP, mereka adalah tiga bersaudara. Sementara adik terakhirnyanya selisih 5 tahun dengan Guntur dan kini masih menginjak kelas 6 SD.
Ayahnya bekerja sebagai tukang kayu, dan ibunya bekerja sebagai karyawan di salah satu pabrik terbesar di Grobogan yaitu PT. Pungkook. Kehidupan mereka terbilang sederhana sebagai penduduk desa, tidak ada barang mewah di rumah. Lantai rumah beralaskan paving, bangunan rumah serta temboknya terdiri dari kayu, tidak ada emperan rumah, barang berharga yang tampak di rumah hanyalah motor dan televisi.
"Mandi sana!" Gertak Della sekali lagi saat melihat Guntur tak kunjung beranjak ke kamar mandi.
"Berisik! Minta dua ribu dulu."
"Buat apa?"
"Ya beli rokok eceran lah. Nggak ada rokok aku nggak berangkat pokoknya."
"Halah, ini. Sana mandi!"
Tidak ada kata-kata lagi keluar dari mulut Guntur setelah mendapat uang, ia berjalan sambil lalu dengan gelagat jalan yang angkuh, cara dia menyampirkan handuk di pundak juga terlihat kasar.
Dua puluh menit berselang kini Guntur sudah sampai dekat pabrik ibunya bekerja, lalu lintas di depan pabrik masih sangat ramai walau jam pulang kerja sudah lewat lebih dari 30 menit tadi.
Guntur masih duduk bertengger di atas jok motor dengan menjepit batang rokok di jari tengah dan telunjuk tangan kiri. Bosan menunggu begitu lama membuatnya terus menghembuskan asap ke udara sampai efeknya merasuk dalam rileksnya pikiran.
"Gun..." Teriakan seorang wanita paruh baya terdengar jauh. Postur badannya lumayan begitu tinggi namun tidak gemuk juga, mungkin sekitar 160 sentimeter, usianya kisaran 45 tahun.
"Ayo Ma." Balasnya menoleh ke sumber suara.
"Kamu tuh jangan ngerokok terus, heh!" Sontak Marni langsung memarahi anaknya yang menghembuskan asap rokok di dekatnya.
"Tch... Iya iya."
"Kalau dibilangin itu nggak usah jawab. Sudah, ayo pulang."
Gelagat tubuh Guntur agak kesal saat akan memacu motor, meski begitu dia tetap menurut dengan perkataan ibunya dan tetap menurunkan step motor.
"Guntur!!! Pelan-pelan!!!"
***
Fajar telah tiba, sinar mentari mulai menampakkan wujud dari ufuk timur. Guntur telah siap dengan seragam putih abu-abu yang ia kenakan menuju sekolah, sebelum berangkat tak lupa juga dia meminta uang saku kepada ayahnya.
"Berangkat dulu." Ucapnya sambil lalu, dia hanya selonong saja tanpa bersalaman.
Sekilas Guntur melihat ke arah jam dinding dan jarum jam masih menunjukkan pukul 5.40, walau masih sepagi ini Guntur harus tetap berangkat karena ia harus berjalan sejauh 900 meter untuk menuju ke jalan raya demi menunggu bus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Promise
Teen FictionSeorang laki-laki bisa saja berubah kepribadiannya saat mengenal perempuan, dan itu memang benar adanya. Cerita ini mengisahkan sosok anak remaja bernama Guntur yang duduk di bangku kelas 1 SMA, dia adalah siswa yang terkenal sangat nakal di sekolah...