3. Satu Meja

24 5 6
                                    

Pia bukannya ingin bermaksud jahat atau ikut-ikutan merisak Maya seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, gadis pecinta hal-hal gaib itu pernah melihat dengan kedua matanya sendiri.

Maya itu benar-benar seorang penyihir. Bukan sekadar julukan kasar untuk merendahkan dan mengejek penampilan Maya yang suram.

Tentang Maya yang katanya pernah memakan bangkai tikus, bukunya yang penuh simbol-simbol aneh, darah yang keluar dan mata kirinya yang dirasuki oleh iblis, Radit dan teman-teman lainnya bilang kalau itu semua cuma gosip yang tidak benar. Hanya kabar angin. Tidak ada bukti jelas yang membenarkan Maya pernah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu hitam. Wajar saja ada yang tidak percaya. Pia pun awalnya begitu.

Gadis berbando merah itu ragu. Sejak pertama kali Pia mendengar gosip tentang Maya, ada sesuatu di dalam hati kecilnya yang mengganggap itu semua cuma kebohongan.

Pia yang sejak kecil banyak menonton film horor itu tahu sendiri, penyihir itu tidak ada, mantra dan ritual-ritual yang tertulis di buku itu juga cuma omong kosong. Pia sering mencobanya, memanggil arwah orang mati dan semacamnya. Hasilnya? Tidak ada satupun yang berhasil.

Horor ada hanya untuk memacu adrenalin, membuat dada pecinta supranatural seperti Pia berdegup kencang, merasakan sensasi tegang menyenangkan walaupun tahu kalau kengerian yang ada dibalik layar itu tidak nyata.

Begitu juga dengan Maya. Gadis penyihir dan gosip-gosip mengenai dirinya itu... seharusnya tidak nyata.

Akan tetapi, sore itu rasanya seperti mimpi buruk bagi Pia.

Sekitar satu bulan sebelum Lion memutuskan untuk berteman dengan Maya, Pia mendengarnya. Sebuah raungan yang penuh dengan rasa sakit. Raungan yang jelas bukan berasal dari pita suara manusia.

Seperti biasa Pia pulang sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari rumah dan sekolahnya cukup dekat, hanya melewati beberapa blok, gang-gang kecil, dan biasanya akan memakan waktu tidak lebih dari dua puluh menit kalau saja gadis berbando merah itu tidak menemukan sesuatu yang membuatnya penasaran dan membuatnya berkeliling lebih jauh seperti saat sore itu.

Telinga Pia terasa panas ketika mendengarnya. Suara raungan itu lirih, seperti suara seseorang yang sedang minta tolong. Pia memperkuat indra pendengarannya untuk mencari tahu, mendengar lebih jelas dari mana sumber suara yang menganggunya itu.

Selangkah demi selangkah, raungan itu terdengar lebih jelas. Pia mendekatinya dengan ragu, dadanya berdegup kencang. Di ujung gang, di balik tempat sampah kotor yang penuh dengan kantung kresek berwarna hitam, gadis penyihir itu berjongkok di sana.

Maya, dengan sebuah gunting di tangannya, mencengkeram seekor kucing kecil yang meraung dan mencakar-cakar penuh perlawanan.

"Kamu...."

Terdiam karena syok, Pia menelan ludah.

Menyadari ada seseorang di dekatnya, Maya akhirnya melepaskan kucing itu, lalu menyimpan guntingnya kembali ke saku.

Kucing kecil itu segera kabur, masuk ke dalam gang kecil lainnya. Maya sepertinya juga ingin melakukan hal yang sama, tapi tidak jadi.

Pia berdiri dengan kaki yang gemetaran. Matanya terpaku, memandang luka bakar di area mata kiri Maya yang terasa ganjil di bawah kegelapan.

"A-apa yang kamu lakukan?" Memberanikan diri, Pia bertanya.

Akan tetapi, Maya tidak menjawab. Gadis berambut hitam panjang itu berdiri, menyapu roknya yang sedikit berdebu, lalu berjalan pelan menghampiri Pia.

"A-apa.... " Melihat Maya semakin mendekat, Pia jadi semakin panik.

Pia tidak salah lihat. Sebelumnya, Maya mencengkeram seekor kucing, lalu juga ada gunting di tangannya. Apa maksudnya?

KUTUKAN ATAU PEMBUNUHAN?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang