1♧°☆¡•♡☆◇•

24 3 0
                                    

Ulah diuk dilawang panto, bisi nongtot jodoh.
(Jangan duduk di depan pintu, nanti menghambat datangnya jodoh)

Kalian percaya dengan ujaran tersebut?

Aku mulanya juga tidak percaya, itu cuman ujaran kosong orangtua zaman dulu agar cucu cicit dan anak-anaknya tidak menghalangi jalan. Tetapi karena itupula aku sering melanggar.

Ulah dahar bari sare, bisi gede hulu
(Jangan makan sambil tidur, nanti kepalanya besar)

Padahal sebetulnya itu hanya ujaran agar kita makan dengan beretika, ketika makan sembari tidur dalam keadaan sehat, kita akan mudah tersedak.

Aku paham betul yang seperti itu hanya perlu diiyakan walau kadang-kadang juga masih suka dilanggar. Pepatah Nini tiap kali aku membandel, atau ketika Aki melihatku lagi-lagi duduk bersandar di daun pintu. Usia belasan, orangtuaku memutuskan membeli rumah di kota. Sudah teramat jarang aku mendengar pamali sejenis itu lagi.

Tetapi semakin ke sini, semakin usiaku memasuki waktu matang membangun rumah tangga. Aku justru lebih sering berhadapan dengan bos yang menyebalkan, lembur dadakan, rekan kantor yang satu persatu mulai punya pasangan.

Sedangkan seorangpun tidak ada di sisiku.

Bab 1
Cuti Cari Jodoh

"Belum juga genap seminggu, aku sudah dapat surat penolakan." Kania cemberut, tapi sedetik kemudian kembali memoles pipinya dengan blush on merah muda. "Padahal waktu wawancara, teteh HRD-nya teh santai gitu."

Aku tidak sedang berselera tertawa atau pura-pura setuju dengan cibirannya, hanya menyeringai. Lalu meneguk kopi, menunggunya melanjutkan.

"Eh tadi dimana ya eyeshadow nya?"

Ekor mataku melirik, sedikit teralihkan dari layae laptop hanya untuk menyaksikannya rusuh sendiri mencari sekotak pipih eyeshadow empat warna yang dua hari lalu ia tunjukkan dengan bangga kepadaku. Beli dari hasil jerih payahnya tanpa lupa memaki kantor lama yang dengan tega melakukan PHK.

"Kamu ngedengerin enggak sih, El?'

Aku terenyak, sedikit terkejut mendengar nada suaranya. "Daritadi aku mendengarkan, Kania. Mulai dari curhatanmu soal Rusli yang akhir-akhir ini masih cuek bebek saja sama semua perlakuanmu sampai yang terakhir, kamu habis kena tolak kerja."

Kania langsung menutup kotak pipih eyeshadow yang habis dipakainya sampai suaranya nyaring. "Kamu kalau masih sibuk dan enggak mau dengerin ya sudah bilang aja El, daripada aku harus bicara panjang lebar kali tinggi tapi cuman angin lalu buatmu. Astaga, aku lebih baik pergi sekarang biar enggak ganggu datingmu sama laptopmu itu."

Tubuh rampingnya menabrak meja saat berdiri, duduk terlalu dekat lagi. Menyenggol cangkir kopi yang isiannya memercik ke atas sebagian make up yang belum dibereskan, Kania menjerit ngeri. Mencicit lagi sambil rusuh mengusap make up nya dengan tisu hingga bersih. Hembusan nafas beratnya terdengar bak diserang depresi dadakan, Kania lekas membereskan ceceran make up nya sembari menyalahkan aku yang lambat sekali menghabiskan minuman. Dia benar-benar tidak.tahu kenikmatan hanya minum segelas kopi sanbil nongkrong satu dua jam di cafe ramah pencari WIFI gratisan.

"Kamu harus lebih peka sama sekitarmu, El." Kania menggait tas slempangnya, sementara satu tangannya sibuk merapikan dadanan. "Aku pergi dulu."

"Kemana?" Tubuhku berputar mengikuti arah perginya.

"Tempat Rusli, lunch!" Katanya separuh berseru.

Lagi? Astaga, wanita itu benar-benar tidak ada kapoknya. Begitu Kania menghilang dibawa mobil taksi yang telah ia pesan, aku bergegas merapikan laptopku. Bergerak ke kasir membayar minuman sembari mengembalikan kunci mobil Toyota Avanza dan berterima kasih. Kemudian berbelok ke parkiran, menuju mobilku yang sungguhan.

Aku menghembuskan nafas begitu keluar dari parkiran, mengganti kemeja kotak-kotak dengan kemeja putih dilapisi jas yang lebih rapi. Bertemu dengan Kania tiga kali, sudah cukup untuk dengan mudah menyimpulkan karakteristiknya. Cewek manja, mudah mengeluh, mudah cemas dan suka makan. Paling gelisah kalau tidak bisa mengkritik temannya dalam pertemuan serta bucin akut. Jelas-jelas Rusli tidak pernah jatuh cinta padanya, masih saja dikejar. Sudah cukup.

Dering telpon dari Ardi mendahului. "Bagaimana? Sudah oke?"

"Skip, bukan seleraku."

"Astaga El!" Ardi menepuk dahi. "Masih saja, sudah lima cewek lho!"

Aku menyengir, walau Ardi tak akan lihat juga. "Sudah dibilanh kan Di, lagian dia masih penasaran sama Rusli."

"Halah, Firani yang adem ayem kemarin juga kamu tolak tuh padahal dia enggak ngejar siapa-siapa. Boleh jadi malah sudah jatuh cinta sama tampang Eldra keren mapan mu itu."

"Lain lah, Di." Aku membanting stir ke kanan. Jalanan depan mulai macet. "Lagian ide-mu ga jelas. Segala cariin aku jodoh dari A sampai Z, mereka akan kabur kalau enggak dicari. Sudahi sajalah dulu, rehat. Kamu cari yang lebih bagus, lebih sesuai. Aku mau cuti dulu."

"Loh kemana?"

"Balik kampung, panggilan darurat dari Bapak. Aki sakit. Sudah dulu, Di. Aku di jalan, AWAS!" Tanganku langsung melemparkan ponsel sembarang ke kursi di samping, kembali fokus pada jalanan. Sulit sekali agar bisa mutitasking seperti Teh Danela, menelpon, menyetir, kadang-kadang sekaligus sarapan juga di dalam mobil.

Dua jam sebelum bertemu Kania, Farzam berkali-kali kirim pesan. Disuruh Bapak hubungin Kang Eldra yang sibuknya ga ketulungan, minta cuti dua bulan sekali dipercepat karena kondisi darurat Aki sehabis jatuh di toilet. Pulang sekarang atau menyesal lagi! Rai kurang ajar! Sembarangan mencomot topik sensitif sebagai ancaman. Membuka luka dalam secepat kilat untuk ditutup lagi dengan janji manisnya dimasakin pindang balado. Deal! Tiga jam lagi tiba di garasi runah Aki.

Pak Wira juga seolah diarahkan Dewi Fortuna untuk memberi tugaa tambahan di Cisaat, survey tempat untuk cabang baru. Sisa waktu sebagai bonus hasil kerja keras dua hari lembur. Bohong, beliau paling juga habis dibekali Istrinya lagi setelah maaf-maafan. Tapi terserahlah, bonus didapat, insentif mendekat.
Teh Danela? Pulang juga? Enggak, Mas Caraka suaminya belum dapat cuti biar bisa ngunjungin Aki. Projek besar buat bonus akhir tahun sudah menunggu, enggak bisa disia-siakan. Aku mengeluh dalam hati sewaktu mendengarnya, punya kakak ipar harus dimanfaatkan. Tanya tips nya dilirik terus sama atasan.

Mobil berbelok ke kiri, sudah cukup jauh dari Jakarta. Udara dan polusinya masih sama. Rindu dengan jalanan Sukabumi yang masih asri kanan kiri, entahlah bagaimana kali ini.

Macet kembali menghadang. Diantara pekerjaan paling menyebalkan, aku lebih membenci yang satu ini : menunggu. Karena di antara gerung ramai jalanan, ada celah di pikiran untuk memicu kenangan itu kembali ke permukaan.

Taman bahagia masuk dalam daftar lokasi yang harus kukunjungi sebelum ke rumah Aki.

Biar Hati Yang Berbicara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang