_'_
Usiaku masih 15 tahun sewaktu teh Danela tiba-tiba muncul di depan barisan gugus peserta didik baru, berseru-seru mencari Eldra untuk keadaan darurat. Kakak pembimbing lekas membawaku menemuinya, dan bagai sambaran petir, kondisi kritis Mama membuat bulu kudukku berdiri. Mengambil alih perhatian sebagian murid, tidak ada penolakan atau sergahan atas permintaanku agar diizinkan pulang duluan. Di depan gerbang rupanya Papa sudah menunggu, ada Farzam.juga yang masih kebingungan duduk di bagian depan.
Mobil yang kami tumpangi langsung menuju jalan utama, membelok cepat, mengambil jalan alternatif yang beruntungnya tengah kosong. Hanya perlu sepuluh menit hingga akhirnya kami tiba di rumah sakit dengan dinding warna hijau, Papa lekas memarkirkan mobil dan membimbing kami bertiga langsung ke lantai tiga, ruangan yang baru saja keluar seorang suster dan dokter dari dalamnya. Papa bergegas menemui mereka, sedangkan Teh Danela segera mengambil peran sebagai anak pertama; membimbing kedua adiknya untuk masuk ke dalam ruangan tanpa membuat kebisingan.
Dan di dalam salah, di ranjang paling ujung menghadap jendela. Mama terbaring tak berdaya. Netranya sayu kala memandang kami bertiga secara bergantian, lembut Teh Danela menyentuh tangannya, sementara aku dan Farzam saling tatap kebingungan. Memilih lekas mengambil posisi sedekat mungkon dengan Mama. Tanpa aku tahu bahwa itu terakhir kalinya pula aku dapat sedekat nadi dengannya.
Mama tidak banyak bicara, tapi tatapan netra gelapnya yang senantiasa memancarkan ketenangan telah berkata banyak. Tentang kehidupan, tentang kami bertiga. Dan betapa Papa telah membuatnya bahagia selama di dunia. Besar hatiku berharap agar kedua mataku bisa menangkap gambaran apa saja yang ada di hadapanku saat itu, tatapan penuh cintanya, agar bisa kukenang selalu tanpa pernah merasa kehilangan.
Kata Aki, Mama telah berpulang dengan kedamaian. Ia telah menjalankan tugasnya di dunia sebaik mungkin sehingga diberi kesempatan untuk menatap kami berempat, merasakan keutuhan sebuah keluarga sebelum netranya rapat menutup. Memyusul Nini yang telah terlebih dahulu pergi oleh keluhan yang sama, diabetes dan jatuh dari tangga.---
Bab 2
Camellia japonica
---
"Mamamu lebih suka bunga camellia ketimbang mawar atau lily, El." Begitu yang Nini bilang sewaktu dulu aku tanya mwnapa Mama lebih banyak memakai bunga itu sebagai hiasan.
"Memang apa bedanya? Mereka semua sama-sama bunga. Aduh Nini!" Tanganku dicubit Nini tiba-tiba.
"Jangan kamu bilang begitu depan Mamamu, dia selalu suka bunga. Ada banyak bunga dengan makna berlainan buatnya, enggak bisa sama antara mawar merah atau jingga, aster, dahlia, atau lily."
Kemudian esok lusa aku dibuat mengerti, bahwa selayaknya aku, Teh Danela atau Farzam. Kami semua memang sama-sama anak Mama. Tapi beliau punya netranya sendiri dalam memandang kami, bagaimana memperlakukan kami sebaiknya, tindakan apa yang harus diambil jika Farzam merajuk, atau cara membujuk Teh Danela yang sedang di masa pubernya. Selayaknya ia mencintai bunga-bunganya yang bahkan hingga kini pasti masih tertata rapi dihalaman rumah Aki.
Sepuluh menit memecahkan celsngan rindu di rumah Mama yang baru, hamparan lembut rumput itu kini telah terpangkas dengan rapi. Mama mungkin akan lebih bahagia setelah kuselipkan doa-doa diantara barisan bunga camelia di atas nisannya. Tempat tidur lelapnya yang baru, sayang kini sudah tak bisa kupeluk raganya tiap kali aku merasa takut atau dingin. Apa Mama di sana kedinginan juga? Apa Tuhan memberinya selimut lembut sebagai balasan atas kebaikannya didunia?
"El pulang dulu ya, Ma. Baik'baik di sana, kita pasti ketemu lagi di surga yang sama. Bareng Papa, Teh Danela. Mas Caraka dan Farzam. Sekaligus Aki Nini juga. Atau mungkin namti nambah, Ma. Bareng cucu-cucu Mama." Aku tertawa kwcil, membayangkan Mama yang masih sehat tengah menimang-nimang seorang bayi lucu.
Sayang sebelum itu terjadi, ia lebih dulu berpulang.
Selepas membersihkan nisan Mama, aku bergegas pulang. Senja hampir habis ditelan malam, lampu jalanan menyala satu persatu. Aku telah tiba di kota kecil yang pernah menjadi saksi bisu tumbuhnya kami bertiga, betapa dulu Mama dan Papa begitu serasi, Aki dan Nini menghabiskan masa senjanya.
Jalanan lenggang beri aku waktu cukup untuk sekali lagi mampir ke sebuah toko roti, yangseingatku dulu tidak ada di sini. Mungkin bangunan baru. Kita perlu membawa buah tangan. Tapi melirik jam di tangan dan kondisinya yang seolah tak bertuan, apa masih buka atau lebih baik aku cari tempat lain saja? Kemudian tepat habis ucap itu di ujung lidah, seseorang keluar membawa kantung sampah. Rambut pendek dan celemek warna brunette, tampaknya karyawan di sini. Kakiku melangkah turun dari mobil, lekas memanggil. Tetapi berkali-kali kuteriaki, ia tak juga membalikkan badan.
Sampai tanganku tiba di pundaknya, ia berbalik. Terkwjut bukan main tetapi juga waspada menatapku layaknya orang jahat. Kami bersitatap dalam hitungan detik, sebelum angin lalu menerbangkan anak rambut ditelinganya. Menampakkan sesuatu di telinganya, alat bantu dengar? Astaga, apakah...
Bahu tegang yang tadi kusentuh kini terasa lebih rileks setelah aku menjaga jarak darinya, ia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah aku adalah makhluk dari planet lain dengan tatapan kebingungan. Kemudian kedua tangannya naik ke udara, bergerak menggambarkan sesuatu, sembari mulutnya berucap. Membuat suara yang sulit kucerna.
Ditengah kebingungan, sesosok lain keluar. Wanita dengan celemek yang sama, ia menatapku lebih ramah.
"Maaf, ada perlu apa ya?" Ia bertanya sembari menepuk bahu perempuan dihadapanku.
"Eh, itu. Saya cuman mau tanya apa tokonya apa masih buka?" Aku gelapaan memberi jawaban.
Ia kemudian mengangguk. "Silakan masuk." Sembari membukakan pintu. Diikuti perempuan satunya, aku masuk ke toko roti sederhana yang harum produknya langsung berebut memasuki indra penciuman. Dekorasinya sederhana, hanya ada sedikit tempat untuk duduk-duduk, hiasan dinding yang lebih tepat digambarkan sebagai lukisan. Beberapa hiasan bunga di atas meja. Astaga. Aku tergiur melihat setiap roti yang tersaji di etalase.
"Mau pesan apa?" Perempuan yang tampak lebih dewasa dsri yang pertama kutemui itu bertanya setelah menempatkan dirinya dibalik etalase. Mulai menjelaskan singkat tentang jenis roti yang aku tanya. Kemudian menyiapkan pesanan. Ia berbalik badan, pamit pergi ke belakang sebentar. Meninggalkan aku dan perempuan dengan alat bantu dengar itu dengan kesibukan masing-masing.
"Namanya Utami." Begitu perempuan itu kembali, tampaknya ia menyadari kemana netraku berlabuh sejak turun dari mobil tadi. "Tolong jangan tepuk pundaknya dari belakang lagi, dia mudah terkejut. Telinga sama sekali tak dapat mendengar dengan baik. Maaf atas ketidaknyamanannya dalam kunjungan pertama."
Aku mengangguk mendengar penjelasannya. "Bukan masalah, aku hanya sedikit terkejut sekaligus penasaran. Ini pertama kalinya, maaf jika kurang sopan. Bu?"
Ia mengangguk. "Tidak apa-apa, beberapa pelanggan kami juga mula-mula kesulitan. Tetapi swmakin mereka kenal dan paham, tidak sedikit yang datang hanya untuk bicara dengannya."
"Eh dia bisa..."
"Menggunakan bahasa isyarat. Iya-kan-Uta-Mi?" Perempuan dihadapanku menggerakan tangannya, menarik perhatian Utami yang balas menggerakan tangan, membentuk sesuatu sambil tersenyum. Lalu netra kami beradu, lekungan sabit dibibirnya tampak cantik.
"Uta mau bilang sesuatu." Begitu saja perempuan dihadapanku menjadi translator. "Minta maaf karena tadi bertindak tidak sopan."
"Aku juga minta maaf sudah membuatmu terkejut."
Netra Uta yang tampak seperti coklat lumer itu berbinar dibawah paparan lampu toko. Ia menggelengkan kepalanya dengan bersemangat, membuat rambut pendeknya berkibar. Memperlihatkan kedua alat bantu dengar di telinganya dengan jelas.
Tetapi jam dinding yang berada tepat di ataa mereka menyadarkanku atas waktu, sudah larut dan sebaiknya lekas tiba di rumah Aki. Uta menatapku, seolah menunggu. Aku kemudian membayar belanjaan, mengangguk berterima kaaih. Dan sebelum pergi, netraku kembali terpaku pada Utami, atau sebaiknya kusebut Uta.
"Bagaimana sebaiknya aku ucapkan 'sampai jumpa' padanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Biar Hati Yang Berbicara
Teen FictionPamali? Cuman pepatah orangtua zaman dulu supaya anaknya nurut. Nyali? El kehilangan itu sejak Mama dikebumikan Baginya jodoh bukan sesuatu yang teramat perlu, tapi sejak semua teman-temannya kini berumah tangga. Bawa pasangan tiap ada reuni sekola...