3♧°☆¡•♡☆◇•

3 1 0
                                    

"El? Kamu ke sini sendirian?" Aki muncul dari balik pintu dapur mendengar seruanku, dengan lap di tangannya. Ia tampak baru selesai makan malam.

"Apa kabar, Aki?" Satu mataku berkedip, mengangkat plastik kecil transparan yang menampilkan bandros putih hangat dengan gula terpisah.

Aki tertawa. "Aku 'sendirian' sehat-sehat saja, El. Kamu bawa kue pancong lagi?"

"Ini kue bandros, Aki." Aku mengeluh dalam hati, pindah kota sedikit, cemilan itu sudah berubah lagi saja namamya.

Hanya dengan Aki sendiri, aku bisa sedikit melanggar aturan makanan mania di atas jam delapan. Terutama jumlah porsinya bagi kesehatan. Mengingat riwayat keluarga kami, diabetes telah merenggut dua nyawa wanita kesayangan kami. Tidak ada yang mau mengulang kesalahan yang sama, apalagi lebih dari dua kali.

- - -

Bab 3
Menu Istimewa

- - -

Baru semalam aku tiba di rumah Aki, paginya Luna—rekan kerjaku—sudah bekerja. Dikirimkannya berkas-berkas yang kuperlukan lewat e-mail dengan rapi, menitipkan pesan agar aku lekas memulai. Sejak awal mengenalnya, dia tipe perempuan yang cepat bekerja dan cekatan. Luna sangat membantu dalam banyak hal.

Selepas mandi, turun ke lantai satu aku langsung bisa menebak Farzam tengah menyiapkan sarapan. Telor ceplok kecap di atas sepieing nasi hangat jagoannya. Harum aromanya menyeruak, terbayang sensasi gurih renyah margarin yang meleleh di atas wajan panas. Lezat. Hidangan mewah di rumah ini.

Papa sudah di dapur saat aku tiba, menata piring di atas meja. Aki menyusul tak lama kemudian, masih dengan sarung sebagai pengganti celana di tubuhnya. Kami berempat duduk mengitari meja makan persegi, Farzam menghidangkan telor ceplok di atas nasi yang telah ku bagikan di tiap piring. Dengan sentuhan akhir berupa lumuran kecap, kami mulai melahap sajian. Damai ketika melihat Aki dan Papa bisa makan dengan lahap di usia senja mereka. Suara sendok yang bersentuhan dengan piring bagai alunan melodi dipetang hari, aroma kopi yang Papa seduh. Tidak ada yang lebih cepat meluruhkan lelah selain melihat orang-orang terkasih yang kupunya mengekspreikan bahagianya.

"Kamu tahu, El?" Habis meneguk minumnya, Aki dari sebrang meja memandangku. "Bisa makan telor ceplok utuh begini baru bisa Aki rasakan sejak Papamu menikah."

"Sungguh?" Farzam semangat menimpali.

"Iya, dulu pasti selalu dibagi lima potong. Untuk Aki, Nini, Papamu, Tante Riri dan Om Firgi." Aki tertawa, menepuk bahu Papa disampingnya. "Beruntung Bapak ini, Angga. Semoga kalian bisa seperti Papa kalian."

"Ditambah ikan asin, tumis toge dan sambal buatan Riri." Papa menimpali, mereka berdua tertawa-tawa mengingat masa lalu.

Farzam dan aku mengangguk-angguk. Dibanding Nini, Aki lebih jarang bercerita soal kehidupannya. Baginya masa lalu tidak perlu dibuka setiap waktu, jadi cukuplah dengan cerita dari Nini. Paling-paling seperti ini, ketika Nini sudah tidak ada berarti sudah berkuranglah jatah mendengar era kehidupan mereka.

Lima belas menit kemudian sesi sarapan telah usai, Farzam dan aku pamit dengan kendaraan berbeda. Kali ini aku memilih pakai motor, lebih cepat tiba dilokasi yang telah dikirimkan Luna. Tapi baru saja kupijakkan kaki di kantor sederhana itu, Ardi melambaikan tangannya.

"Loh, kok di sini, Di?" Aku melongo, jelas-jelas tidak tahu menahu.

"Mampir saja sih," ia terkekeh. "Oh sekalian antar Luna, dan temannya. Paramita."

Aku paham benar maksud tatapan Ardi dan gerakan ekor matanya yang genit menunjukkan padaku dimana Paramita berdiri. Perempuan yang tingginya hanya beda seperkian senti dari Luna, berambut hitam gelap panjang, lengan digulung. Pasti seorang profesional juga.

"Oh."Aku tersentak saat Luna—bersamaan dengan Paramita—membalikkan badan ke arahku. "Sudah di sini, El? Aku dan Paramita sibuk sekali hari ini. Kamu bisa mulai survei ke lokasi baru, alamatnya sudah kusertakan dalam dokumen ini."

Aku mengangguk, sedikit terkesima dengan kharisma yang ditampakkan Paramita dari arah depan. Ia mengangguk takzim saat melihat dokumen yang diserahkan Luna.

"Jangan bengong, El." Luna benar-benar tidak tahu momentum. "Aku pergi sekarang, kamu bisa e-mail hal lain yang diperlukan."

"Kerja bagus yang lain, Luna. Aku tidak pernah kecewa."

Luna mendesis, dengan sopan meninggalkan aku dan Ardi. Paramita mengekor dibelakangnya, terlihat sama sibuknya. Ardi kemudian menoleh kepadaku. "Gimana?"

"Nggak deh, temennya Luna."

"Lah hubungannya apa?" Ardi berkecak pinggang. "Sama Luna juga enggak kamu seriusin."

Menyengir, aku tidak menjawab pertanyaan Ardi. Menyusul pamit menuju jalan yang berlawanan, memgambil kunci motor dari saku. Harus segera menyelesaikan tugas ini tepat waktu mumpung jalanan sedang kosong melompong. Tapi ternyata tidak terkira juga akan ada macetnya. Salip-salipan jadi jalan keluar (jangan dicontoh)

Hanya saja sebelum berhasil melewati mobil avanza silver.

"PAK, AWAS!"

Aku mengerem kencang, berhenti tepat sebelum menabrak bapak-bapak yang terlambat mencapai terotoar. Tetapi yang lebih pelik adalah seluruh dokumen tebal yang telah disusun rapi oleh Luna berserakan di jalan. Tasku terbuka dan angin berhembus kencang. Di situasi berbeda aku akan bersyukur ditengah siang yang terik.

Sial, mana kendaraan itu tidak ada yang mau mengalah di situasi seperti sekarang. Buru-buru aku turun dari motor, bergegas menarik kertas manapun dari dokumen itu yang hampir saja terbang menjauh. Beberapa pengendara yang melihatku sibuk dijalanan saat macet begini ramai membunyikan klakson, tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati membantu merapikan dokumenku.

Beberapa menit berkutat dengan dokumen itu, berantakan sudah isinya. Aku justru baru menyadari penyerangan sesungguhnya adalah pada titik buta ketika aku panik.

Tahu-tahu saja motorku sudah dibawa pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biar Hati Yang Berbicara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang