[Jehan Pov ]
Malam itu, ketika hujan merayap dengan lembut di luar, aku terperangkap dalam dunia pikiranku sendiri di sudut kamar yang sunyi. Setiap tetes hujan menimbulkan melodi yang menghanyutkan, dan aroma tanah basah yang memabukkan memenuhi ruangan. Meskipun aku terpesona oleh pertunjukan alam di luar jendela, fokusku masih terpaku pada kanvas putih yang menunggu di sudut ruangan.
Pameran seni sekolah yang mendekat menimbulkan kegelisahan dalam diriku. Aku akan tampil dengan live painting, namun belum juga menemukan inspirasi yang sesuai. Ide-ide bergumul di benakku, tetapi tak satu pun yang cukup menggugah hatiku.
Ketika pintu kamarku diketuk, secercah harapan menyala dalam hatiku. Mungkin, mama ingin berbicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar jadwal mingguan atau les matematika. Mungkin, dia ingin aku menceritakan bagaimana hariku berjalan? Mendengarkan apa yang aku rasakan? atau sekedar bercanda layaknya ibu dan anak.
Namun, harapanku pupus begitu kata-kata yang keluar dari bibirnya tak sehangat yang kuharapkan. "Karena nilai tengah semestermu kemarin turun, mama tambahkan jam les matematikamu."
"Papa nggak akan tahu, mama tidak akan memberitahu papa, tapi tolong untuk kali ini jangan membuat malu, Jehan," tambahnya, suaranya lembut namun berat.
Aku hanya bisa mengangguk, hatiku teriris saat dia meninggalkan kamar tanpa sepatah kata pun tentang apa yang benar-benar terjadi di dalam hatiku. Aku tersadar bahwa, di dunia yang penuh dengan kesibukan dan ekspektasi, mungkin sulit bagi siapa pun untuk benar-benar memahami atau bahkan melihatku.
Ketika aku kembali menatap kanvas putih itu, aku menyadari bahwa karya seni yang aku ciptakan bukan hanya tentang ekspresi diri, tetapi juga tentang keinginan mendalam untuk dipahami dan diterima. Aku tahu aku bukan Hanan, dengan segala keceriaan dan kemampuannya untuk memikat perhatian siapapun. Aku hanyalah Jehan, seorang anak bisu yang tak mampu bersuara di dunia yang penuh dengan suara berisik. Namun, melalui karya seni, aku berharap bisa menemukan suara yang sejati, yang mampu memperjuangkan ruang dan pengakuan dalam dunia yang kadang-kadang terlalu sibuk untuk mendengar.
Tentang aku dan juga Hanan, bohong rasanya jika tidak ada perasaan iri yang singgah melihat hangatnya interaksi mama dan juga papa kepada Hanan. Bagaimana renyah tawa mereka di meja makan menceritakan bagaimana serunya menjadi Hanan, memiliki semua yang menyenangkan dan ramai.
Sementara itu, aku, yang hidup dalam dunia goresan dan imaji, dianggap terjebak dalam ketidaknyataan. Mama selalu merasa khawatir tentang masa depanku yang dinilai tak pasti. "Jangan biarkan dirimu terlalu asyik dengan dunia itu, Jehan. Kamu harus memikirkan masa depanmu," ucapnya.
Bagaimana denganku? Pameran seni? Mereka tidak peduli.
Apa karena aku terlahir tanpa suara? Ma, aku juga ingin memiliki suara.
Perbedaan perlakuan membuatku semakin tenggelam dalam keheningan, seolah goresan-goresanku tak lebih dari sekadar coretan tanpa makna. Aku ingin mama dan papa melihat dunia yang kuciptakan, menyadari bahwa setiap goresan memiliki cerita yang tak pernah terucap. Namun, sepertinya aku masih terperangkap dalam bayang-bayang Hanan, yang hidupnya selalu terang benderang di mata mereka.
Jenaka, pikirku. Kami adalah bunga yang sama dalam satu wadah yang sama, namun ada perbedaan yang seakan terucap hingga membuat lampu sorot lebih memilih untuk menyinari satu diantaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceiling Stars | Seoksoo.
FanfictionDi bawah langit malam, dua jiwa yang terluka menemukan satu sama lain layaknya benang yang saling menemukan ujung nya. Jehan, seorang tuna wicara yang terasing dari keluarganya, dan Samudra, yang terjebak dalam kondisi yag serba salah, saling melen...