Prolog.

16 1 0
                                    


Malam sering kali menjadi waktu di mana seseorang memperdalam pengetahuan tentang diri sendiri, merenungkan perasaan yang terpendam, dan merenungkan apa yang telah dilalui dalah sebuah kehidupan. Saat malam tiba, seseorang bisa merasakan kesenangan dan kekecewaan yang mungkin telah dialami, bahkan menghadapi momen-momen memalukan yang menggelitik di dalam pikiran, yang kemudian akan coba untuk dihilangkan dari ingatan. Dan puncak akhir pada malam yang tiba adalah memikirkan ketakutan akan hal yang belum terjadi.

Di dalam kamar yang redup, terdapat cerita-cerita tentang penerimaan diri yang melintasi batas-batas dinding, mencari pengakuan di antara langit-langit yang tak terjangkau. Manusia, seperti bintang-bintang yang tergantung di langit, menaruh harapan dan impian pada sesuatu yang tampaknya tak tercapai.

Dalam cahaya samar-samar, seseorang mungkin merasa kecil di hadapan luasnya alam semesta. Namun, di tengah kegelapan itu, mereka menemukan keberanian untuk menerima diri mereka sendiri. Seperti bintang-bintang yang menerangi malam, penerimaan terhadap diri sendiri membawa sinar bagi jiwa yang terbenam dalam refleksi.

Namun, di tengah kegelapan malam yang menyelimuti, seseorang mungkin merasa hampa dan kecil di hadapan alam semesta yang luas. Namun, itulah tempat di mana keberanian sejati muncul, tempat di mana seseorang menemukan kekuatan untuk menerima diri mereka sendiri, meski dalam keheningan yang mendalam. Seperti bintang-bintang yang menerangi langit malam, penerimaan diri membawa sinar bagi jiwa yang tenggelam dalam refleksi.

Dunia begitu indah bagi sebagian orang, namun terkadang juga tidak, karena dunia  kerap memalingkan wajahnya dari mereka yang berbeda. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, ada seseorang yang memilih untuk diam, mengamati kehidupan dengan hati yang tenang. Meski tidak bersuara banyak, dunia sering kali mengasingkannya, menyalahkan keheningannya.

Hanin Jehan adalah sosok yang memiliki kekurangan yang tampaknya hanya terungkap ketika namanya disebutkan: ia seorang tuna wicara yang menjalani hari-harinya dalam keheningan, menikmati keramaian di sekitarnya dengan menuangkan pemikirannya pada sehelai kertas.

Hanya ada satu harapan yang belum terpenuhi baginya: mendapatkan penerimaan dari kedua orang tuanya, seperti yang mereka berikan pada saudara kembarnya.

Satu pertanyaan yang terus menghantuinya ketika matanya sayup menatap langit-langit kamar adalah apakah terlahir tanpa suara adalah sebuah dosa yang tidak bisa diampuni? Sesalnya adalah bahwa ia tidak memiliki pilihan dalam kondisi yang diberikan padanya.

Di dunia di mana banyak orang memiliki seseorang yang menemani, Jehan mungkin salah satu yang harus hidup sendiri. Hanya buku kuning kecil yang selalu setia menemani, memuat gambaran imajinatif yang melayang-layang dalam pikirannya. Emosi dan kata-kata sulit diungkapkan secara langsung, namun di halaman-halaman buku itu, ia menemukan kebebasan untuk mengungkapkan diri, walaupun hanya kepada dirinya sendiri.

Katanya, setiap individu seharusnya menjadi pemeran utama dalam buku kehidupannya sendiri. Namun, bagi orang tua Jehan, membicarakan tentangnya merupakan aib bagi keluarga. Standar kasih sayang yang diberikan adalah kesempurnaan, prestasi, paras yang menawan, dan suara merdu, hal-hal yang dimiliki oleh saudara kembarnya, Hanan.

Jehan merasa seperti bayangan gelap yang lahir secara kebetulan, ditempatkan di bawah sinar tanpa seorang pun yang memperhatikannya. Ia dan Hanan bagaikan bunga yang mekar dalam pot yang sama, namun terlupakan oleh sorotan lampu yang lebih memilih menerangi sisi lain.

Apakah pantas bagi sosok tanpa suara ini untuk berharap akan diterima oleh bintang-bintang di langit sana? Pertanyaan itu tergantung di udara, menantikan jawaban dari langit-langit kamar.

"Jika Jehan bisa meminta pada Tuhan, Jehan juga ingin dilahirkan dengan suara, Ma, Pa."

"Jehan juga ingin di dekap hangat dalam pelukan mama, layaknya Hanan."


- Ceiling Stars -



Ceiling Stars | Seoksoo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang