8. Babe Kawin Lagi

23 4 0
                                    

"Kamu ngomong apa sih? Dia ini hanya ketakutan. Lagian, masa anak kecil seperti ini kamu banh menjadi pelakor? Entah dia mengerti dengan apa yang kamu bilang."

Ratih mengerutkan wajah menatap Gara dengan tajam. "Kok kamu malah belain dia? Harusnya aku yang kamu bela seperti biasanya."

Setelah itu, tatapan Ratih beralih kepada Alin. Kedua tangannya berada di pinggang. "Kamu senang dibelain dia ya?"

Alin menggelengkan kepala cepat. "Maaf, Tante. A-aku bukan—"

"Tante? Kau panggil aku TANTE?"

Alin menundukkan kepalanya. Kedua tangannya tertaut saling menyambut. Ia tak menyangka hari ini bisa menjadi se-sial yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Kenapa diam aja?" tanya Ratih, heboh sendiri.

"Maafkan saya, Tante, eh Mbak. Saya pulang dulu. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena sudah membantu saya." Tanpa menunggu jawaban Ratih, Alin memutar badan mengernyitkan wajah hingga kedua giginya yang putih, terlihat dengan jelas.

"Eh, tak bisa cuma terima kasih doang! Kau harus memb—"

Gara menyumpal mulut istrinya yang terus berbicara tanpa ada jeda.

Sementara itu, Alin terus melangkahkan kakinya dengan kecepatan maksimal yang ia bisa. Seluruh tubuhnya mengucurkan cairan bening, sebagai pendingin mesin-mesin dalam tubuhnya yang memanas karena bekerja cukup keras.

Akhirnya, setelah menempug perjalanan selama tiga puluh menit, dengan sedikit napas yang cukup memburu, Alin sampai di rumah.

"Neng, lu abis mandi di mane?" sambut Babe dengan wajah herannya.

"Aye jalan kaki, Be. Abang-abang supir, tak ada yang lewat di sane. Jadinye, aye jalan kaki aje." Alin menyeka keringatnya dengan ujung lengan seragam putih yang mulai memudar itu.

"Oh, iye. Tadi Jali bilang jalannya ketutup sama acara kampanye di ujung jalan. Jadi angkot dan kendaraan roda empat lain pade kagak bise lewat,"terang Babe.

Alin menghembuskan napas beratnya. Ternyata hal itu yang menjadi penyebab malapetaka berlipat-lipat terhadap dirinya hari ini. Namun, Alin memilih untuk merahasiakan apa yang terjadi terhadap dirinya.

"Be, aye mau bersih-bersih sekaligus bersiap untuk latihan di camp lagi," ucap Alin berpamitan.

"Tunggu!" ucap Babe berusaha mencegat Alin. Namun, Alin sudah menutup pintu kamarnya.

Babe menghela napas panjang. "Nanti die akan tau juge." Babe pun berlalu.

Alin pun membersihkan diri mandi dan mengenakan pakaian olah raga yang nyaman. Sesaat ia keluar kamar, dari arah ruang makan, tudung saji mengeluarkan aroma yang sangat mengundang hasratnya yang telah kelaparan luar biasa.

Sesaat kemudian, ia pun berangkat membawa peralatan olah raganya tanpa mengonsumsi satu apa pun. "Be ... Be?" Alin mulai mencari sang ayah, tetapi tak tampak batang hidungnya.

Kebetulan ia melihat Bang Jali tengah gitaran di pelataran parkir angkutan yang sudah kembali dari tugasnya.

"Rindu, mengapa rindu hatiku, tiada tertahan ...." dengan suara cempreng khas suara Bang Jali.

Diam-diam, Alin berjinjit tanpa disadari oleh Bang Jali. Alunan suara gitar mengalir merdu, tak sebanding dengan suara penyanyinya membuat pusing yang mendengar.

"Rela-rela, rela aku rela—"

"Doooor!" Alin mendorong punggung Bang Jali dari belakang.

"Aaagghh!" teriak Bang Jali, gitar yang ada di tangannya sempat terlepas dan segera ia tangkap kembali.

Mengejar Cinta Duda Kere(N)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang