“Lepasin!” Teriakan seorang gadis mengalihkan fokus Shabira yang sedang memasang gembok pada rolling door. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang gadis dengan seragam SMP tengah ditarik paksa oleh seorang laki-laki.
“Masuk!” bentak sang laki-laki berperawakan tinggi yang menarik tangan sang gadis.
Cepat-cepat menyelesaikan apa yang dikerjakan, Shabira bergegas meninggalkan pelataran kantor notaris tempatnya bekerja. Meski ada rasa takut, tetapi Shabira memberanikan diri untuk mendekat. Pikiran buruk kini tengah menguasai otaknya. Laki-laki itu pasti penculik. Kaki Shabira mengayun semakin cepat saat dilihat gadis tadi mulai menangis dan tidak mau masuk ke dalam mobil.
Entah mengapa kondisi sore itu terlihat jauh lebih sepi dari biasanya. Bahkan satpam yang biasa berjaga di pos tidak jauh dari kantor Shabira bekerja tidak terlihat. Maka tanpa berpikir panjang, Shabira menggunakan tas besarnya sebagai senjata.
Beruntung kakinya memilih sandal jepit untuk pulang dan pergi kantor. Sementara sepatu flat shoes licinnya sengaja ditinggal di bawah meja kantor. Jadi saat kondisi genting seperti ini gerakannya bisa lebih gesit.
Shabira memukul tangan laki-laki itu dengan tas besarnya. Begitu pegangan laki-laki tadi terlepas, Shabira langsung menarik gadis berambut sepinggul itu berlari menjauh.
“Woi! Berhenti!” Jantung Shabira seperti berlomba saat teriakan itu terdengar. Tanpa menoleh, Shabira terus melarikan kakinya ke tempat ramai.
“Kita ke seberang jalan yang lebih rame!” katanya pada gadis di samping yang terlihat mengangguk.
Kepala Shabira sesekali menoleh ke belakang. Memastikan laki-laki tadi tidak mengejar. Tidak terlihat pergerakan dari belakang, tapi belum menjamin situasi aman, bukan?
“Ayo!” Shabira mencoba mengatur napas juga fokusnya untuk menyeberang jalan. Gadis remaja di sampingnya juga melakukan hal sama. Sesekali, kepala gadis itu juga menoleh ke belakang.
“Sudah jangan dilihat. Nanti kita cari tempat aman untuk menghubungi orang tua kamu,” kata Shabira saat melihat kekhawatiran muncul di mata hitam gadis di sebelahnya.
Gadis muda itu terlihat melebarkan mata. Kekhawatirannya terlihat semakin bertambah. Mulut kecilnya membuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung.
“Kita beli minum dulu,” kata Shabira lagi. Lalu membelokkan kaki ke minimarket. Mengambil dua air mineral, membayarnya, lalu segera menyorongkan satu botol ke arah gadis yang masih terus melongokkan kepala ke tempat tadi.
“Orangnya sudah nggak ngejar.” Shabira tersenyum lembut, menampakkan wajah teduh yang sering diabaikan oleh orang lain. Bahkan oleh orang tuanya sendiri.
“Kamu duduk dulu. Nanti Tante bantu hubungin orang tua kamu.” Shabira dengan sabar menuntun gadis itu untuk duduk di bangku yang tersedia di depan minimarket. Membukakan penutup botol air mineral saat dilihat gadis itu tidak juga berniat meminumnya.
“Nama kamu siapa?” tanyanya sembari menyorongkan botol yang sudah terbuka.
“Gendis, makasih Tante.” Gadis bernama Gendis itu menerima botol air mineral dari tangan Shabira, meneguknya setengah. Terlihat sekali masih khawatir.
“Kamu punya nomor telepon orang tua kamu?”
Gendis terlihat ragu saat menganggukkan kepala.
“Boleh Tante bantu buat hubungin mereka?”
Keraguan di mata hitam Gendis makin terlihat nyata. Gadis itu tidak langsung menjawab, malah melongok lagi ke tempat kejadian tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA KEREN PENAKLUK HATI
RomanceBlurb Shabira lelah harus selalu mengalah pada saudara kembarnya. Bahkan untuk urusan hati pun, dia harus kembali kalah. Memilih pindah dari Bandung ke Tangerang agar tidak terus menjadi bayang-bayang. Keberuntungan mulai memihak Shabira saat Tuhan...