“Saya ayah Gendis.”
Satu baris kalimat singkat yang membuat Shabira mematung dengan ekspresi aneh.
“Apa? Ayah?” Shabira menanyakan itu sembari menoleh pada Gendis yang tampak takut-takut menatapnya.
“Ayah kamu?” Shabira berharap Gendis akan menggelengkan kepala. Namun, jawaban anggukan yang gadis remaja itu beri membuat Shabira ingin menggali tanah dan mengubur dirinya di sana.
“Jadi.” Laki-laki yang mengaku sebagai ayah Shabira itu menyandarkan tubuh ke kusen pintu. “Shabira Anindita,” lanjut laki-laki itu sembari membaca benda kotak kecil di tangannya.
Mata Shabira kembali membulat saat sadar yang berada di tangan Lingga adalah KTP. Tangan gadis dengan kulit kuning langsat itu pun otomatis memeriksa tas, membuka dompet, dan … ktpnya tidak ada di sana. Bagaimana benda penting itu bisa jatuh?
“Apa saya perlu lapor polisi untuk tuduhan penculikan?” Ada nada kesal yang Lingga tunjukkan.
Bibir Shabira membuka dan menutup, bingung harus berkata apa. Oke, ini memang salahnya karena bertindak ceroboh. Akan tetapi, siapa yang tidak curiga melihat keadaan seperti tadi?
“Maaf, karena saya sudah salah sangka,” ujar gadis itu pada akhirnya. “Tapi saya juga nggak sepenuhnya salah. Siapapun yang melihat Anda tadi pasti akan curiga. Coba tadi saya teriak, mungkin Anda akan dipukuli oleh warga sekitar.”
Ayah Gendis malah tersenyum miring. Menertawakan ucapan Shabira yang terdengar konyol.
“Harusnya saya yang berkata seperti itu. Tadi kalau saya teriak, dan bilang kamu penculik, siapa yang akan dibilang salah? Sementara security di sana sebagian besar tahu kalau Gendis ini anak saya.”
Shabira meneguk ludahnya kasar. Dia tidak pandai berdebat. Sejak kecil terbiasa mengalah, menahan pendapat dan keinginannya, membuat Shabira sedikit kesulitan untuk mengutarakan pemikirannya.
“Tapi tetap saja. Anda nggak seharusnya nyeret Gendis sampai teriak-teriak kayak tadi.” Shabira menoleh pada Gendis untuk mencari dukungan. Dan berhasil, Gendis langsung memegang lengannya.
“Urusannya sama kamu apa? Dia anak saya, bukan anak kamu.”
“Justru karena dia anak Bapak, enggak bisa apa Bapak bersikap lembut dikit? Harus kasar kayak gitu?” Shabira tahu tidak seharusnya dia melanjutkan ini. Harusnya setelah tahu ada kesalahpahaman, dia cepat-cepat kabur. Bukan malah mencari masalah seperti sekarang. Dan, keberanian dari mana yang didapatnya hingga bisa berdebat seperti ini? Entahlah, Shabira sendiri juga bingung dengan tingkahnya.
Laki-laki di depannya terlihat begitu geram mendengar ucapan yang keluar dari bibir Shabira.
“Saya bilang itu bukan urusan kamu!” Iris hitam itu langsung beralih ke arah Gendis yang terlihat ketakutan di tempatnya. “Masuk!”
“Pak, dia aja takut sama Bapak. Yakin Gendis ini anak Bapak?” Shabira mengusap tangan Gendis yang masih memegang lengannya. Kali ini terasa lebih kuat.
“Apa perlu saya tes DNA?”
Shabira tidak menjawab, memilih untuk menunduk, menatap Gendis dengan serius. “Dia beneran ayah kamu?” tanya wanita itu lagi. Mengabaikan decakan kesal yang terdengar dari arah lain.
Gendis mengangguk yakin. Sedikit melirik ke wajah ayahnya yang sudah merah padam menahan emosi.
“Suka kasar sama kamu?” tanya Shabira lagi. Sembari melirik ayah Gendis yang hanya memilih diam sembari melipat tangan di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA KEREN PENAKLUK HATI
RomanceBlurb Shabira lelah harus selalu mengalah pada saudara kembarnya. Bahkan untuk urusan hati pun, dia harus kembali kalah. Memilih pindah dari Bandung ke Tangerang agar tidak terus menjadi bayang-bayang. Keberuntungan mulai memihak Shabira saat Tuhan...