Episode 2

0 0 0
                                    

Mobil sedan hitam melaju membelah jalanan kota. Angkot berseliweran menikung kendaraan lain. Suara klakson terdengar sahut menyahut. "Macet lagi," keluh Nita mengembuskan napas.

Ada banyak barisan kendaraan di lampu merah. Semakin lama semakin banyak memadati jalan. "Namanya juga Jakarta Nit," ujar Fajri memperhatikan lampu lalu lintas. Beberapa pengamen mendekati mobil tapi diabaikan. Suara nyanyian mereka terdengar riuh diantara bisingnya bunyi klakson.

Nita mengembuskan napas lagi. Meski sudah terbiasa tetap saja baginya cukup menyebalkan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 7.

"Gimana sekolahmu?" tanya Fajri mengalihkan pandangan Nita.

"Baik pa. Seperti biasa."

"Kalau ada masalah cerita sama papa. Biar papa yang menyelesaikannya," ujar Fajri menginjak gas saat lampu menunjukkan warna hijau.

"Iya pa. Tenang aja Nita pasti cerita kok sama papa."

"Baguslah. Jangan dipendam sendiri. Itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Meski papa sibuk tapi papa akan usahakan mendengarkan ceritamu dan menyelesaikan masalahmu," ujar Fajri melajukan mobil dengan cepat.

"Terimakasih pa," ujar Nita terharu. Betapa beruntungnya dia memiliki papa yang baik dan menyayanginya sepenuh hati. Meski sibuk tapi Fajri tetap berusaha meluangkan waktu untuk keluarga.

"Untuk?" tanya Fajri tanpa mengalihkan pandangan. Laju angkot dan sepeda motor yang cepat membuat Fajri harus fokus.

"Untuk semuanya. Papa sudah menyayangi Nita dan mama."

Fajri terkekeh. Pandangannya beralih ke Nita. Tatapan penuh kasih sayang berkilat di mata hitamnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Nita sampai kapan pun papa akan selalu menyayangi kalian. Karena kalian ada harta satu-satunya yang papa miliki dalam hidup ini," ucapnya mengelus kepala Nita.

Nita seketika terpana menatap Fajri. Kasih sayang dari Fajri membuat Nita dipenuhi kebahagiaan.

Tak lama mobil berhenti tepat di gerbang SMANLI. "Pa, Nita pergi dulu." Nita menyalami tangan Fajri. Kemudian bergegas turun.

"Belajar yang benar dan dengarkan perkataan gurumu," nasihat Fajri yang diangguki Nita.

"Sampai ketemu lagi pa," kata Nita melambaikan tangan. Fajri balas lambai lalu mobil melaju meninggalkan gerbang.

Nita berbalik memasuki gerbang. Ada banyak siswa di teras kelas. Suara obrolan mereka terdengar saat Nita melewati lorong.

"Nita!" panggil Rahma menghentikan langkah Nita. Dia berbalik dan tersenyum saat melihat Rahma.

"Rahma!" pekik Nita menghampiri gadis berambut sebahu itu. Mereka saling berpelukan.

"Baru gak ketemu sehari aja udah kek sewindu aja," celetuk Deli di belakang Rahma. Serempak keduanya menatap Deli.

"Sorry Del. Gue gak ngeliat elo tadi," ucap Nita menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia juga memeluk Deli.

"It's okay. Gue gak papa kok."

"Btw, tumbenan kalian datang cepat. Biasanya sering telat," celetuk Nita yang disahut hela napas Deli.

"Elo kek gak tau aja pak Heri. Gue juga ogah datang cepat. Masih ngantuk gue," ujar Deli menguap. Rahma yang sejak tadi berdiri di sebelah Deli langsung menutup mulutnya. Mata Deli seketika terbelalak membuat Rahma tertawa. "Napa elo tutup mulut gue sih? Kalau gue gak bisa napas, gimana? Elo mau tanggung jawab kalau gue meninggoy?" ketus Deli menatapnya kesal.

Rahma berhenti tertawa. Dia mengusap ujung matanya yang berair. "Gak semudah itu manusia mati Del. Seharusnya elo berterimakasih sama gue."

Dahi Deli seketika terlipat. "Ngapain gue berterimakasih sama elo? Emang elo habis lakuin hal baik apa sama gue?"

"Elo mau mulut elo dimasukin setan?" tanya Nita menimpali percakapan Deli dan Rahma. Pandangan Deli langsung beralih ke Nita.

Rahma tersenyum lebar. "Nah, itu Nita tau. Masak elo gak tau sih Del?"

Deli mencebikkan mulutnya. Mengabaikan perkataan Rahma yang terdengar mengejek di telinganya. "Emang setan bisa masuk ke mulut kalau kita nguap?"

"Bisa lah. Makanya kita tu dianjurkan kalau nguap tu tutup mulut. Jadi yang dilakuin Rahma barusan tu nolong elo," kata Nita yang diangguki Deli.

"Emang beda ya dewi sekolah kita ini. Dia tau semuanya," ujar seseorang di belakang Nita. Serempak mereka menatap ke arahnya.

Nita berbalik dan terkejut saat melihat seorang cowok bertubuh tinggi. "Hendra?"

Hendra menyunggingkan senyuman. "Pagi sayang," sapa Hendra mengangkat tangannya.

Nita seketika merinding. Dia bergidik jijik menatap Hendra. "Apaan sih elo manggil gue sayang? Gue bukan pacar elo," ketus Nita yang disahut gelak tawa Hendra.

Rahma dan Deli hanya saling sikut. "Kek nya bakalan ada perang dunia ketiga nih," bisik Deli yang diangguki Rahma.

"Bukan perang dunia ketiga Del. Ini tu lagi perang pasutri. Biasalah suaminya lupa gak ngasih beras," balas Rahma. Keduanya langsung cekikikan.

Kepala Nita tertoleh ke belakang. Tatapannya sinis. "Apa yang kalian ghibahkan di belakangku, hah?!"

Serempak Rahma dan Deli terdiam. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah lain sambil bersiul pelan. "Awas aja kalian berdua kalau ..."

"Sayang, jangan galak dong. Nanti cantikmu luntur loh," potong Hendra. Wajah Nita berubah merah padam. Dia menatap Hendra tajam. Hendra maju selangkah. "Tapi walau kamu gak cantik lagi. Aku pasti mencintaimu selamanya," lanjut Hendra menaik turunkan alis matanya.

Amarah Nita seketika membuncah. Tangannya meraih kerah seragam Hendra. Meski terkejut tapi Hendra tetap bersikap tenang. Bibirnya melengkungkan senyuman.

"Kenapa marah sayang? Aku kan bilang yang sejujurnya dari hatiku yang paling dalam."

"Gue gak butuh! Gue ingatkan sama elo jangan panggil gue sayang. Gue tu bukan pacar elo atau siapapun elo. Gue gak sudi jadi pacar elo sampai mati sekalipun. Camkan itu!"

Suara bel terdengar riuh. Nita segera melepaskan cengkraman di kerah Hendra. Dia juga mendorong tubuh cowok itu hingga mundur selangkah.

Hendra terkekeh sambil merapikan seragamnya yang kusut. "Nit, kalau elo galak gitu. Nanti gak ada yang mau jadi suamimu loh," ledek Hendra.

Nita mencebikkan bibirnya. "Siapa juga yang mau nikah? Elo kali yang birahi pengen kawin. Dasar buaya buntung," maki Nita mengacungkan jari tengah di udara. "Fuck you bitch!" lanjutnya berbalik.

Langkahnya lebar melewati kerumunan siswa yang memperhatikan mereka. Beberapa siswa langsung menepi. Rahma dan Deli mengikutinya dari belakang.

Tatapan siswa kini tertuju ke arah Hendra. Namun cowok itu malah tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Siswa cewek langsung histeris.

Sialan elo Nit! Barusan elo manggil gue buaya buntung? Gue yang seganteng Lee Min Hoo? Dasar cewek gila, batin Hendra memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Kemudian berjalan melewati siswa di lorong.

"Hendra!" panggil seseorang menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan tersenyum saat bertatapan dengan Mutiara.

Gadis berambut panjang itu menghampiri Hendra dan bergelayut manja. "Gue kangen ama elo," bisik Mutiara sambil melirik tajam siswa cewek yang melihat ke arah mereka.

Para siswa cewek langsung pergi. Suasana lorong berubah sunyi. "Kan baru ketemu, masa udah kangen?" balas Hendra berbisik di telinga Mutiara. Napas hangatnya menerpa wajah Mutiara membuat suhu tubuhnya naik. Wajahnya seketika tersipu malu. Dia menundukkan pandangan. Keknya cuma Nita yang gak terpesona sama gue. Masa gue di bilang buaya buntung, sih?! batin Hendra masih kesal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dewi Vs PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang