2.1 Buah Hati Bubun

140 15 0
                                    

Selamat Membaca 




Orang bilang, hidup itu akan terus berjalan sebagaimana kita mengamininya. Begitulah dengan Lean. Ibu tunggal dari dua anak yang selalu mengamini bahwa dirinya adalah perempuan tangguh yang mampu membesarkan dua buah hatinya tanpa suami. 

Nampaknya sesumbar, tapi itu adalah kebenarannya. Lean sebagai seorang ibu tunggal berhasil membesarkan kedua buah hatinya dengan kedua tangannya sendiri. Memang Jeyan ada di sana, membantu di kala butuh dan tak serta merta melepas tanggung jawabnya, namun tak usahanya tak seberapa dengan yang telah Lean lakukan. 

Mengandung kedua buah hatinya saat ia tak memiliki apapun dan siapapun di hidupnya. Berjuang sendiri menanggalkan mimpinya. Dunianya runtuh dalam semalam kala ia mengetahui kehamilannya dulu. Namun, Lean mau menyesali semuanya. Ia tak mau berlarut jatuh dalam nestapa dan penyesalan. 

Tak peduli dunia mengkritiknya, Lean tetap kuat menghadapi semuanya dan tentu saja demi kedua buah hatinya. Lean berjuang dengan takdirnya dan semua yang ia hadapi dulu sudah mengasahnya untuk menjalani kehidupan yang pahit dan tak terduga. 

Tak terasa memang, tapi kedua buah hatinya itu sudah tumbuh hingga beranjak pada usia tujuh tahun saat ini. Masih ingatkah kalian dengan Sandya dan Najma? Buah hati Lean dan Jeyan. Walau Lean yang melahirkan keduanya, Gen Jeyan tetaplah pemenangnya. Dilihat bagaimanapun juga, keduanya merupakan versi mini dari seorang Jeyan. 

Tak adil bagi Lean memang, sebab ia yang melahirkan dan berkorban banyak untuk mereka, namun apa boleh buat jika Tuhan yang berkehendak? Padahal jikapun mewarisi Gen Lean, keduanya tak akan buruk rupa. Masih akan sangat tampan dan jelita bak putera dan puteri raja.

"Dya, Najma. Kalo udah sarapan sepatunya dipake ya. Kita siap-siap ke sekolah. Bubun udah masukin bekal kalian, jangan lupa dimakan nanti!" 

"Ayah ikut, Bun?" tanya Sandya. Dibanding saudara laki-lakinya, Sandya memang lebih dekat dengan Sang Ayah. Walau tidak tinggal satu atap, mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

"Ayah kan kerja, Sayang. Kalian sekolahnya sama Bubun aja ya?" 

"Ndak mau, mau sama Ayah. Ayah janji mau anter Dya sekolah hari ini!" rajuk Sandya di meja makan. Makanan di piring tak lagi ia sentuh. Tangannya ia silangkan di dada diikuti oleh raut kesal di wajahnya. 

Sandya tak hanya mewarisi wajah dan perawakan Jeyan, beberapa sifatnya pun sama. Salah satunya tak mau dibantah dan memaksakan kehendak. Mirip sekali dengan Jeyan di masa mudanya. 

"Kamu tuh! 'Kan Ayah kerja! Kok kamu maksa sih? 'Kan ada Bubun!" sahut Najma yang tak terima dengan rajukan Sandya. 

"Nanaj, Dya maunya sama Ayah. Pokoknya Dya gak mau sekolah kalo gak ada Ayah!" 

Jika sudah begini Lean hanya bisa memijat pelipisnya. Dilihatnya kembali jam di tangan. Waktu sudah semakin beranjak tapi dia masih harus dipusingkan oleh rajukan putrinya. 

"Yaudah Dya kalo gak mau sekolah, yang sekolah Nanaj aja. Dya di rumah sendirian." Kebetulan hari ini tak ada orang di rumah. Hendra dan Ibunya sudah dua hari di Surabaya. Jihan sudah pergi pagi tadi untuk bekerja. 

Di rumah ini, Lean tinggal dengan Jihak adiknya, Hendra dan Ibunya. Kakak pertama Lean memilih kembali ke Singapur dan melanjutkan kariernya di sana. Hendra sendiri adalah saudara tiri Lean yang baru ia ketahui setelah dirinya dewasa. Keluarganya sudah hancur berantakan dan ia tak ingin kehilangan satupun anggota keluarganya. Maka dari itu ia berbesar hati untuk menerima Hendra dan Ibunya. 

Familiae || JJHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang