Prolog

8.8K 446 27
                                    

2023.

"Kak, saran Ibu sih, kamu harus stop beli barang-barang jadul gitu. Kamu nggak tahu itu dulu punya siapa, apa yang punya udah meninggal. Gimana kalau misalkan ada penunggunya? Hiy, serem!" Aku mengomentari kebiasaan putri sulungku yang satu itu, usianya masih 17 tahun, tapi hobinya menurutku sungguh out of the box. Waktu aku seusianya, pada usia itu, aku sedang senang-senangnya bermain dengan teman. Kalau mengoleksi sesuatu, sepertinya itu memang sikap naluriah seorang remaja. Cuma biasanya benda yang dikoleksi remaja kan, poster idola dan kaset. Dulu aku mengidolakan Nike Ardilla, jadi aku mengoleksi banyak hal tentangnya.

Kasetnya, baju-bajunya, lipstik, semua make-up tentang Nike Ardilla pokoknya aku koleksi. Namun, anakku yang satu itu senang sekali mengoleksi barang-barang jadul. Lihat saja kamarnya sudah banyak barang antik seperti kotak musik yang dibelinya di pasar antik, novel bertuliskan tangan dari tahun 81, surat-surat jadul sampai.... "Kali ini kamu beli apa lagi?"

"Bu, Ibu harus tahu aku bawa apa!" ujarnya antusias sambil mengangkat sebuah surat lusuh yang entah kali ini milik siapa. "Aku nemu surat yang ditulis seseorang di tahun 1997."

"Ngapain sih, Kak beli gituan? Kalau misalnya yang punya tuh udah meninggal, terus kamu dihantuin gitu, gimana?"

"Ih Ibu nih, mulai deh, apa-apa dikaitin sama mistis. Aku nemu barang ini di pasar loak, Bu, terus Ibu tahu nggak yang nulis tuh laki-laki. Kan jarang banget Bu ada cowok nulis surat, kebanyakan cewek." Raline terus saja mencerocos tanpa henti. Kalau kata suamiku, dia persis seperti aku, cerewet.

"Cowok nulis buat ceweknya kan bukan sesuatu yang unik, Kak, di zaman Ibu banyak kok. Itu cara orang zaman dulu mengekspresikan perasaannya."

"Iya tahu, cuma yang unik, nama ceweknya mirip kayak Ibu, Putri."

"Yah, Kakak, yang namanya Putri kan banyak, bukan cuma Ibu. Itu tuh nama sejuta umat."

Raline membuka halaman pertama. "Tulisan ini saya dedikasikan untuk seseorang yang begitu penting dalam hidup saya, seseorang yang mengajarkan saya tentang mimpi, seseorang yang akan aku cintai sepanjang hidup, Putri." Raline membacakannya dengan lantang. "Tuh, Bu, puitis banget nggak, sih? Aku sih kalau digituin sama cowok pasti melting, Bu."

Aku hanya mendengkus. Dasar anak remaja. Raline melanjutkan untuk membaca suratnya. "Untuk Nay Nay. Seseorang yang sudah berada di ruang hati saya sejak saya berusia 21 tahun hingga saya menulis surat hari ini. Seseorang yang sudah mencuri perasaan saya sejak kita bertemu di Beringin Cinta pada hari pertama Ospek. Satu-satunya orang yang bisa bergumam lagu George Baker di antara kerumunan lainnya."

Mendengar Raline membacakan tulisan itu, aku mengernyit. Cerita itu begitu familier untukku.

"Kak ... sebentar, ada tulisan yang punya suratnya?"

"Ada, di paling bawah, Genta Aditama."

Seolah Tuhan sedang menunjukkan takdirnya di depanku. Seperti benang yang semula terputus dan kini memulai kembali jalinannya. Ingatanku terputar ke berpuluh tahun lalu. Genta Aditama, George Baker, dan Beringin Cinta. "Kak, boleh Ibu lihat suratnya?" Raline menyerahkan surat itu kepadaku. Aku membacanya. Aku masih ingat tulisan tangan Genta.

Iya, itu adalah tulisan tangannya, dan dia menuliskan itu untukku.

"Kenapa, Bu?"

"Aaa ... nggak, boleh Ibu pinjam nggak suratnya?"

"Hah? Buat apa?"

"Nggak apa, Ibu penasaran aja pengin baca."

"Oke, tapi jangan hilang ya? Aku juga mau baca."

Aku mengambil surat itu dari tangan Raline dan bergegas menuju ke kamarku. Dari balik bilik yang kini tertutup rapat, aku kembali berkelana ke masa laluku. Bagaimana mungkin surat itu kembali bahkan setelah bertahun-tahun aku berusaha melupakan sosoknya? Setelah sekian tahun surat yang kukirim untuknya tidak pernah ada balasan, kenapa balasan itu muncul bahkan setelah aku menikah. Lucunya balasannya datang melalui anakku sendiri.

Ingatanku secara otomatis terputar ke tahun itu, 1992. Tahun saat aku kali pertama mengenalnya. Tahun ketika cerita berawal dan semuanya dimulai.

---

A/N:


Waktu dengar cerita ini dari sosok Putri, aku minta izin untuk ceritain ulang ceritanya karena semembebas itu buatku. Aku ceritain di Twitter dan juga Instagram. Sampai akhirnya ketika ditawarkan Penerbit Akad sebuah projek kolaborasi di mana tema utamanya tentang orang-orang yang merasa dipercundangi sama perasaan bernama cinta, aku teringat lagi cerita ini. Aku pun minta izin lagi ke Putri, gimana kalau aku buat versi panjangnya? Dan dia setuju,

jadi aku wawancara lagi,

aku minta beberapa referensi surat aslinya supaya aku bisa menjiwai ceritanya karena latar tahunnya sendiri di tahun 90-an di mana aku masih belum lahir.

Nanti silakan baca versi panjangnya di novel ya, biar bisa menilai, kenapa cerita ini semembekas itu buatku.

Kota Para PecundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang