1. Berkenalan dengan Genta
Bandar Lampung, 1992
1992 adalah tahun yang bersejarah bagiku. Setiap manusia pasti memiliki sebuah millestone atau tonggak pencapaian yang patut dicatat sebagai prestasi. Untukku, yaitu ketika berhasil masuk ke sebuah kampus perguruan tinggi nomor satu di Bandar Lampung, Universitas Lampung. Tadinya, orang pertama yang harus tahu kabar itu adalah Siti (panggilan untuk Nenek). Namun, berita buruk terjadi. Mungkin kau pernah mendengar tentang tragedi Mina pada 2 Juli 1990 yang tercatat sebagai tragedi haji dengan korban tewas tertinggi pada zaman modern. Ada 1.426 orang tewas, tidak, itu bukan hanya angka-angka. Ada Siti-ku di sana. Beliau menjadi korban akibat terinjak-injak.
Aku ingat satu bulan sebelum Siti berangkat haji, aku menitipkan doa kepadanya agar mendoakanku berhasil masuk Fakultas Hukum di Unila tepat di depan Hajar Aswad nanti. Siti lalu mengecup keningku dan membisikkan doa di ubun-ubunku. Jadi keberhasilanku masuk kuliah saat ini bukan hanya karena usahaku saja, tetapi ada doa Siti di dalamnya, juga doa dari kedua orangtuaku.
Mataku menatap pantulan diriku di cermin lemari yang penuh dengan Stiker band jadul—itu adalah lemari turun temurun dari Bapak—dan Bapak dulunya adalah anak band yang nyentrik. Di luar sudah terdengar teriakan sepupuku, Indra. Kami bertetangga. "Put, buruan tuh Indra nunggu di depan." Adikku, Yuri berdecak sebal. Tanpa menunggu lama akhirnya aku berlari menghampiri Indra yang wajahnya sudah mesem-mesem dan bergegas duduk di motor Astrea miliknya.
"Lama!" gerutunya. Motor melaju.
Aku tersenyum sepanjang perjalanan. Seolah hari itu pohon dan bunga sedang melambai kepadaku, ikut mengucapkan selamat bagiku yang akan mengikuti Ospek hari pertama.
***
Gedung Serbaguna Unila terasa begitu panas. Selama berjam-jam aku berharap agar Ospek hari pertama segera usai. Tahun itu istilahnya masih Ospek atau akronim dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Apa yang kulakukan hanya berusaha menebalkan telinga mendengarkan penjelasan mengenai kampus, perkenalan fakultas dan berbagai formalitas lainnya yang samar di ingatanku. Namun, aku ingat jelas pengalaman ketika aku akhirnya bertemu dengan Genta. Pukul dua belas siang akhirnya seluruh mahasiswa baru diperbolehkan untuk Ishoma. Aku dan Eva berteriak girang.
Oh ya, aku belum memperkenalkan Eva. Perkenalkan, gadis berambut panjang sebahu dengan tubuh mungil itu baru kukenal pagi harinya. Dia terlihat celingukan seperti orang bingung, aku langsung menyapanya, mengajaknya berkenalan. Lalu kami mengobrol seolah kami adalah dua sohib lama yang baru bertemu setelah sekian lama tidak bertemu.
"Ke Beringin Cinta, yuk!" ajakku.
"Hah apaan itu?" tanya Eva heran.
"Beringin Cinta ... katanya kalau istirahat gini banyak kakak tingkat cakep nongkrong di sana." Aku berusaha mengompori Eva. Dia akhirnya setuju dan kami pergi ke Beringin Cinta. Sebenarnya kenapa dinamakan Beringin Cinta, aku tidak tahu sejak kapan nama itu muncul, tapi konon tempat itu dijadikan sebagai lokasi mahasiwa berpacaran sambil duduk menikmati angin sepoi di bawah pohon beringin.
Kami berjalan menuju Beringin Cinta. Jarak dari Gedung Serbaguna atau biasa disebut dengan GSG, menuju Beringin Cinta lumayan jauh. Namun, berhubung di usiaku waktu itu aku terbiasa jalan kaki, jadi jarak jauh bukan masalah serius. Bahkan sejak SD aku sudah terbiasa jalan kaki. Untungnya Eva juga begitu. Lalu aku melihat sekumpulan mahasiswa baru yang berpakaian putih hitam sepertiku berkerumun. "Ada apaan sih?" tanyaku heran.
Eva mengedikkan bahunya. Kami mendekat, lalu mataku menatap seorang cowok berambut ala tentara sedang bermain gitar (fyi, setiap mahasiswa baru diwajibkan untuk potong rambut dengan model tersebut sebelum mengikuti Ospek. Itu sebabnya, ada banyak pria berambut seperti tentara di sana). Cowok itu duduk di bawah pohon, jemarinya memetik senar dan memainkan sebuah lagu yang kukenal di luar kepala. I've Been Away Too Long milik George Baker. Untuk urusan musik bisa dibilang seleraku lumayan keren. Sebut saja The Beatles, Kanssas, George Baker, sedangkan dalam negeri aku menyukai God Bless dan Nike Ardilla. Tak lain karena hasil didikan Bapak. Setiap harinya dia mencekoki anak-anaknya dengan lagu dari luar ataupun lokal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kota Para Pecundang
Teen FictionKota Para Pecundang adalah kolaborasi cerita dari tiga penulis yang akan diterbitkan oleh Penerbit Akad. Segera terbit, Februari 2024.