Bab 3 - Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

1.2K 133 7
                                    

Bisa dibilang aku dan Genta jadi semakin dekat sampai ke semester berikutnya. Tadinya kami sering bertiga dengan Eva, sekarang jadi ke mana-mana keseringan berdua. Meskipun kadang Eva tiba-tiba muncul dan nimbrung di antara kami. Aku merasa Eva juga menyukai Genta, insting perempuan kan jarang sekali meleset. Sebagai sesama perempuan tentunya aku tahu bagaimana sinyal perempuan yang sedang naksir. Misalnya, aku beberapa kali memergoki Eva sedang menatap Genta terang-terangan. Eva tersenyum manis ke Genta, tapi judes ke cowok lain. Eva yang terkadang suka meminta bantuan Genta padahal seharusnya dia bisa meminta juga ke orang selain Genta.

"Kamu ngerasa nggak sih, Eva suka sama kamu?"

"Masa?"

"Iya, masa nggak ngerasa?"

"Iya udah kalau dia suka, masa mau dilarang?" Sumpah, aku gemas sekali mendengar jawabannya. Hari berikutnya tebakanku sepertinya benar karena aku melihat Eva jadi lebih sering mengambil kursi di sebelah Genta. Kadang sering meminjam alat tulis Genta. Pura-pura lupa bawa pena, atau meminta kertas, padahal yang kutahu Eva itu pantas mendapat gelar sebagai mahasiswi paling disiplin. Berbeda dengan aku, si teledor.

Aku ingat hari itu Senin, aku mengajak Eva untuk jalan-jalan mencari kaset Nike Ardilla di pasar. "Menurut kamu Genta itu gimana orangnya?" tanyaku memancing Eva.

Lalu aku melihat Eva tersenyum sewaktu aku bertanya demikian. Persis seperti gelagat orang yang kasmaran hanya karena mendengar nama seseorang yang dia suka. "Baik, pinter, bertanggungjawab."

"Setuju." Aku mengangguk cepat. "Kayaknya aku jatuh cinta sama dia, deh." Eva menoleh begitu mendengarku mengucapkan begitu.

"Kenapa?" tanya Eva terdengar heran.

"Kenapa gimana?"

"Kenapa kamu suka sama Genta?"

"Emang nggak boleh? Ada yang ngelarang kalau aku suka sama Genta?"

Eva membisu.

"Aku balik duluan, deh."

"Lho kok balik? Kan kita belum dapet kaset Nike Ardilla?"

"Aku baru inget disuruh ibuku pulang cepat, mau ada acara keluarga." Eva terlihat grasak-grusuk. Aku tahu dia cemburu. Aku tahu dia tidak suka mendengarku bilang kalau aku menyukai Genta.

Aku nggak boleh kalah cepat. Itu yang ada di benakku. Aku nggak mau perasaanku didahului Eva, aku harus mengatakan perasaanku ke Genta. Masa bodoh kalau ada yang bilang harusnya cowok menyatakan duluan. Alhasil aku memutuskan untuk segera menuliskan surat cinta ke Genta. Bahkan aku masih ingat tanggalnya, 27 Maret 1994.

"Ta, nanti pulang kampus bisa ke Beringin Cinta?" tanyaku menghampiri Genta yang baru keluar dari musala dengan rambutnya yang basah. Satu hal yang membuatku makin jatuh cinta dengan Genta, dia tidak pernah lupa salat lima waktu. Misal ketika kami sedang mengerjakan tugas kuliah, dia akan mengingatkanku untuk berhenti dulu mengerjakan dan mencari masjid. Salatku sering bolong-bolong, bersama Genta, aku punya sedikit kemajuan jadi lebih takut Tuhan dan punya kesadaran untuk melaksanakan kewajiban.

"Ngapain? Mau ngerjain tugas?"

"Pokoknya temuin aja aku di sana."

"Oke."

Genta tidak pernah terlambat, dia selalu datang tepat waktu. Dia menunggu duluan. Mengenakan kemeja flannel kotak-kotak, rambut belah tengah, persis seperti Jimmy Lin, kakaknya Boboho. "Hei." Aku menyapanya lembut. Berbeda seperti biasanya yang suka berteriak. Aku berusaha terlihat berbeda.

Kota Para PecundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang