Sejak kecil, Yoongi selalu berusaha memaklumi bagaimanapun sikap ibunya. Lebih-lebih setelah kepergian ayah, seperti janjinya, selama ini, Yoongi berusaha sebisa mungkin menjadi anak baik. Menjadi anak penurut yang tidak banyak menuntut, agar ibu tak perlu lagi berpikir untuk menyerahkannya pada ayah yang jujur saja entah sejak kapan sudah mulai Yoongi benci.
Yoongi tahu, seberapa keras usaha ibu dalam membersarkan anak-anaknya. Bermodalkan toko kue serta keterampilan menjahitnya, ibu menghidupi ia dan adik-adiknya sendirian dalam sepuluh tahun belakangan. Sementara Yoongi, ia hanya bisa membantu meringankan beban ibu dengan bekerja part time di sela-sela kesibukannya sebagai seorang mahasiswa. Tidak ada gunanya mengharapkan ayah, Yoongi bahkan tidak yakin apa lelaki itu masih ingat beliau masih mempunyai tanggung jawab akan tiga orang anak.
Menyadari itu, semakin membuat Yoongi tidak ingin menyusahkan ibu. Apalagi hanya untuk rengekan-rengekan tidak perlu seperti; kenapa ibu tak memberinya afeksi sebesar si bungsu. Kenapa ibu tak lagi antusias mendengarkan cerita-ceritanya seperti dulu. Atau bagian paling pentingnya, perihal ibu yang Yoongi rasa semakin membuat sekat antara mereka sejak kepergian ayah malam itu.
Yoongi memilih abai. Sebab hanya dengan itu dirinya bisa tetap waras tanpa memikirkan sikap ibu yang kerap kali membeda-bedakan dalam memberikan kasih sayang antara ia dan kedua adiknya.
Namun hari ini, rasanya ibu sudah keterlaluan. Hari ini, dengan tidak datang di hari penting dalam hidupnya; ibu seolah menegaskan bahwa ibu memang tidak menyayanginya sebesar beliau menyayangi si kembar.
Sudah sejak beberapa hari lalu Yoongi mengatakan ini. Nyaris setiap hari, Yoongi mengingatkan ibu takut-takut beliau lupa mengingat seberapa sibuknya ibu jika sudah berurusan dengan toko kue maupun langganan-langganan jahitannya. Meskipun begitu, ibu selalu punya waktu untuk Taehyung. Masih punya waktu, untuk sekadar memasakkan makanan favorit Jimin ketika adiknya meminta. Namun demikian, untuk hal sepenting ini, untuk sesuatu yang tidak akan terulang lagi; apa ibu tidak bisa memberi sedikit saja waktu dan perhatiannya untuk Yoongi?
“Nggak ada yang dateng, Yoon?” tanya salah seorang temannya—Namjoon. Pemuda seumuran dengannya, yang kebetulan juga mengambil jurusan yang sama. Ilmu hukum.
Sementara di tempatnya, Yoongi hanya tersenyum kecut seraya menggelengkan kepala. Di saat teman-temannya menjalani proses wisuda dengan bahagia bersama keluarga, di sini, di tengah-tengah kerumunan para orangtua maupun mahasiswa/siswi, Yoongi benar-benar merasa seperti seorang diri.
“Nggak usah mikir macem-macem, pasti ibu lo pasti punya alasan kenapa beliau nggak bisa dateng.”
Persetan. Apapun alasannya, Yoongi benar-benar kecewa akan sikap ibunya. Tidak seharusnya ibu melakukan ini. Di saat Yoongi sudah mati-matian belajar, mati-matian mempertahankan prestasinya agar beasiswanya tidak dicabut demi meringankan beban ibu; di saat yang sama, kenapa beliau justru seolah tidak menghargai sedikitpun usaha Yoongi?
Apa yang begitu penting hingga ibu tidak mempunyai waktu untuk sekadar datang dan ikut merayakan hari bahagianya?
“Lo samperin aja Paman dan Bibi, Joon. Mereka udah nunggu, tuh,” ujar Yoongi.
Serangkaian proses wisuda sudah selesai. Tersisa acara foto-foto yang sayangnya tidak bisa Yoongi lakukan. Tidak tanpa ibu maupun saudara-saudaranya.
“Gue cabut dulu. Makasih,” lanjutnya, sebelum melangkah pergi meninggalkan gedung universitasnya.
***
“Kak! Kak Yoongi!”
Yoongi baru saja hendak memasuki taksi ketika rungunya mendengar suara teriakan yang menyerukan namanya. Membalikkan badan, Yoongi sedikit terkejut mendapati Jimin tengah berlari menghampiri.