04

15 4 1
                                    

⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Once Upon a December - Christy Altomare

──o0o──

“Aku… minta maaf.”

Meski seharian penuh telah menguras tenaga mereka, ucapan Vena berhasil membuat keempat anak muda itu sulit tidur. Sedangkan Helmer, mungkin tengah menyendiri di kamar. Begitu pula dengan Vena, wanita itu sepertinya sudah tertidur pulas. Leo menebak demikian. Dia tahu persis seperti apa Helmer ketika menghadapi masalah besar. Pria itu pasti akan mengurung diri untuk berpikir.

Leo, Eira, Rigel, dan Sheren memilih untuk duduk di balkon membentuk lingkaran. Kamar mereka bersebelahan dengan balkon yang menyatu. Eira bersama Sheren, sedangkan Leo bersama Rigel di kamar yang sama. Malam itu langit cukup terang. Mungkin, jika hujan turun mereka bisa sedikit terbantu untuk tidur.

“Mengapa?” Eira merespon dengan tenang. Meski sebenarnya dia cukup terkejut. Sama halnya dengan Sheren dan Rigel. Namun, kedua orang itu memilih untuk diam saja.

“Karena aku telah mencurigaimu.” Leo menatap mata biru Eira yang duduk di hadapannya—bersebelahan dengan Sheren. Sungguh, dia merasa bersalah.

“Apakah kecurigaanmu sudah hilang?” tanya Eira. Dia memeluk lututnya. Bersandar pada dinding yang dingin. Lautan bintang di atas tidak lagi menarik perhatiannya. Sebab, laut di mata Leo mungkin akan menenggelamkannya.

“Entahlah, sepertinya kau tidak berbahaya. Lagipula kita muncul dalam ramalan itu.”

Sheren mengangkat satu sudut bibirnya. Bermaksud tidak ikut bicara. Namun, hanya akan bereaksi. Sedangkan Rigel tampak sudah terbiasa. Dia memilih untuk tetap pada wajah datarnya. Leo memang seperti itu. Bertahun-tahun saling mengenal, Leo belum berubah.

“Tidak masalah, aku sudah menduga hal itu akan terjadi. Maksudku, jika aku jadi kau, aku pun akan menaruh curiga. Bahkan aku tidak mengenali diriku sendiri. Kekuatan, rambut, dan… sisik-sisik ini,” kata Eira. Kali pertama bicaranya panjang setelah pertemuan mereka hari itu.

Eira lalu berdiri membuka tudungnya. Memperlihatkan rambutnya yang merah menyala itu. Baju yang berlengan panjang digulungnya hingga seluruh tangannya terlihat. Sehingga tampaklah sisik di sekitar leher dan lengan atas. Diangkatnya pula bagian bawah bajunya yang panjang menutupi kaki. Sisik itu juga berada di betis dan pahanya. Tak hanya itu, Eira juga memiliki sisik di bagian perut juga punggung.

Semua orang di sana terdiam. Namun, tatapan mereka telah dikuasai oleh Eira. Tidak satupun mampu bersuara. Sebab Eira ternyata benar-benar memiliki berbagai keanehan yang belum pernah mereka lihat.

“Aku dibesarkan oleh Kakek dan Nenek. Mereka menemukanku di depan pintu. Mungkin, aku dibuang karena aku aneh. Tapi aku masih akan tetap mencari tahu kebenaran tentang diriku,” lanjut Eira. Dia kemudian duduk tanpa memasang tudung yang kini terlipat di pangkuannya.

Eira and the Magic MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang