IV

315 53 8
                                    

Khael rasa sore ini akan menjadi sore yang mendung. Mungkin malam juga akan hujan. Soalnya langit lagi tertutup awan kelabu.

Sama seperti hatinya. Mungkin.

Padahal dia sekarang lagi dalam misi membawa berita bahagia.

Berita bahagianya bersama Shanin.

Sisi baiknya, setelah tujuh bulan berusaha, Ibunya luluh dan akhirnya bisa menerima Shanin sebagai perempuan pilihannya.

Sisi buruknya, adalah sekarang.

Disaat Kaia berjalan menujunya. Atau ruang kerja perempuan itu sih sebenarnya.

Khael lagi ada di depan ruang kerja Kaia, walaupun sudah dipersilahkan oleh sekretaris Kaia untuk menunggu dalam ruangan perempuan itu, namun Khael menolak.

Gak tahu.

Dari semenjak menginjakkan kakinya di kantor Kaia, nafasnya terasa tercekat dan perasaannya tiba-tiba gelisah.

Kaia yang awalnya sedang memusatkan dirinya pada file yang ia baca langsung berhenti di tempat saat melihat Khael di ujung dekat pintu ruangannya.

Ada sinyal buruk yang langsung Kaia terima sesaat setelah melihat wajah Khael.

Ditambah dengan sebuah amplop yang dibawa oleh laki-laki itu.

"It's happening" batin Kaia.

Tiba-tiba perasaan getir muncul di hati Kaia.

Kaia berjalan lebih pelan dari tempo awalnya, tak lupa Kaia mengeratkan genggamannya pada file yang sedang ia pegang.

Setelah perasaan getir, timbul perasaan takut.

"Kenapa? Apa yang gue takutin?" Pikir Kaia.

Kaia tak paham dengan dirinya. Ditengah kekalutannya itu, langkah kakinya kini membawanya pada Khael.

"Hai. Long time no see" ujar Khael sambil menampilkan senyum. Mencoba membuka pembicaraan setelah tujuh bulan lamanya tak bersua.

Suara dan senyum itu.

Kaia nyatanya benar-benar merindukan Khael.

"Hai" sapa Kaia balik. Begitu singkat.

Kaia tak tahu harus menanggapi apa lagi. Dia masih begitu terpesona pada Khael yang ada di depannya ini.

"Gimana kabar lo? Baik, kan?" Tanya Khael.

Pertanyaan yang sudah ia tahu jawabannya. Karena walaupun mereka tak saling berkomunikasi, Khael tak bisa mencegah dirinya untuk tak khawatir akan Kaia. Dia akhirnya selalu mengganggu Delon yang bekerja di perusahaan keluarga Danuarta untuk mengetahui keadaan Kaia.

"Dia baik-baik aja. Kelihatan biasa aja sih"

Khael ingat dia selalu tertawa hambar setelah mendapatkan text itu dari Delon.

Nyatanya, hanya dia yang tak baik-baik saja.

Karena Khael kangen setengah mati dengan perempuan di depannya ini.

Katakan saja dia laki-laki brengsek. Tapi mau bagaimana lagi?

Hatinya berteriak nama Kaia setiap waktu.

"Baik kok. Lo?"

"Sama. Gue baik-baik aja" jawab Khael. Setengah berbohong.

Karena nyatanya saat rasa rindunya membumbung tinggi untuk Kaia, dia tak bisa tidur. Berakhir dengan begadang hingga tak tidur sama sekali.

Dalam tujuh bulan ini, dia sesekali harus rehat dari aktivitas kantor karena sakit.

"Jadi? Kenapa kesini?" Tanya Kaia setelah mereka berdua terdiam canggung.

Bukan mereka sekali.

Khael menatap Kaia lamat lalu memberikan amplop yang ia daritadi pegang.

Hatinya memberat.

"Apaan nih?" Tanya Kaia lagi, berlagak santai namun sebenarnya tidak.

Dia rasanya ingin menangis begitu keras hingga orang-orang yang melihatnya akan kebingungan apa yang menimpa dirinya hingga Kaia menangis seperti orang yang begitu kehilangan.

Karena ini mungkin awal dari fase kehilangan.

Kehilangan Khael.

Hal yang ia takutkan akhirnya terjadi.

"It's worked, Kay. Gue dan Shanin sepakat untuk tunangan. Dateng ya?"

Bukan hanya Kaia yang sok baik-baik saja. Khael juga.

Rasanya Khael ingin berteriak begitu nyaring untuk membuat hatinya yang terasa sakit ini berhenti.

Dia kira dengan Shanin akan mengobati hatinya.

Dia kira dia bisa move on.

Tapi dia salah. Hanya karena melihat Kaia dari kejauhan, pertahanan Khael runtuh.

Oh Tuhan, bagaimana ini?

Kaia membuka amplop berisi undangan pertunangan Khael-Shanin.

Senyum simpul terbit dari bibir Kaia.

Undangannya cantik.

"Yang milih desainnya Shanin ya?"

"Iya Kay"

"Kelihatan banget. Bagus! Kalau lo pasti rada nyeleneh" ucap Kaia sedikit bergurau untuk menutupi kesedihannya.

Kaia jago hal yang begitu.

Dia jago menyimpan perasaannya.

Karena jika dia tak bisa menjaga perasaannya, harusnya Khael bisa menangkap basah dirinya. Karena Khael adalah laki-laki yang begitu peka.

Kaia menerbitkan senyumannya lalu mendongak agar bisa menatap kedua mata Khael.

"Gue dateng. Pasti. Congrats, El!"

Dan juga selamat Kaia!

Selamat atas hati kamu yang patah.

Dan tak tahu kapan akan sembuh.

Somewhere Only We KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang