Mengapa daun kelor sangat sempit?

29 1 0
                                    

Adara mengerang malas saat didengarnya suara derap tergesa dari luar kamarnya, ia sudah tahu kalau itu pasti langkah Mamanya yang akan menyuruhnya untuk bangun dan segera bersiap untuk sekolah. Tapi bukan Adara namanya kalau ia langsung menuruti perintah sang 'Ibu Negara', maka dari itu sekarang ia sudah kembali memejamkan mata juga mengunci pikirannya.

Inayah membuka pintu kamar anaknya dengan kilat kesal di matanya, bibirnya menyeringai kejam. "ADARA BANGUN! INI SUDAH TERLALU PAGI UNTUK BERANGKAT SEKOLAH!!"

Adara mengerang kesal dan ia juga mengumpat kasar dalam hati, lalu hal selanjutnya yang bisa ia lakukan hanyalah beristighfar dan merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sebelum tidur.

"Ahh, baik 'Ibu Negara' aku akan menuruti perintahmu sekarang!" Adara menjawab dengan tangan membentuk hormat dan mata yang masih terus mencoba untuk terpejam. Sebelum Inayah--Mamanya-- kembali berteriak hingga membuat gendang telinga sensitifnya pecah dalam waktu sepersekian detik, ia sudah terbirit-birit untuk segera membersihkan diri.

Dengan langkah tertatih ia turun untuk mengambil sarapannya sebelum benar-benar berangkat ke sekolah seorang diri, bagaimana tidak? Waktu sudah menunjukkan pukul 06.40 dan Adara masih berkeliaran dalam 'Istana Negara' julukan yang dibuat Adara untuk rumah orang tuanya.

Adara tersenyum lebar pada Mamanya yang duduk sambil menyesap teh madu favoritnya, "hai Ma, pagi yang cerah untuk memulai aktifitas bukan?" Mamanya melirik sinis pada Adara yang memakan roti dengan wajah tanpa dosa.

"Pergi sekarang atau Mama akan membuat telingamu pecah dalam waktu 1 menit." Adara dengan segera menyambar tangan Mamanya untuk mencium punggung tangannya.

"Aku masih sayang dengan telingaku kalau Mama mau tau." Gumam Adara dengan melas. Lantas ia kembali tersenyum usil sebelum mendongak pada Mamanya yang sedang mencoba menahan amarahnya.

"Dara berangkat dulu Ma, Assalamualaikum." Seru Adara sambil berlari keluar untuk mengambil sepeda.

Setelah Adara duduk di jok sepeda ia mengayuh sepedanya dengan cepat, sebelum berbelok ia sempatkan untuk menoleh sambil melambai pada Mamanya.

"Sampai jumpa nanti sore, 'Ibu Negara', jangan lupa untuk terus merindukanku! Aku sayang padamu!!" Teriak Adara yang membuat Mamanya menggeleng frustasi.

"Aku bingung... dulu aku mengidam apa ketika hamil Adara?" Tanyanya pada dirinya sendiri, lalu ia tersenyum lebar. "yeah sampai bertemu nanti sore, aku juga sangat menyayangimu."

☆☆☆

Dengan santai Adara melangkahkan kakinya di koridor yang menuju kelasnya, seperti hari-hari biasanya ia dapat mengelabui Pak Ujang satpam sekolahnya tapi ia tak akan bisa menghindar dari gurunya yang sangat perhatian padanya, Bu Rahma. Guru yang sangat bertolak belakang dengan namanya.

"Mau kemana kamu bocah cilik?" Adara mendengus samar, seharusnya tadi ia mengaktifkan radarnya.

Adara berbalik dengan seringai lebarnya, "Aaa, Ibu selalu perhatian sama saya, saya jadi terharu..." dilihatnya Bu Rahma menggeram, "tapi aku harus mengatakan satu hal Bu."

"Kali ini apa??" Tuntutnya dengan tak sabar, seringai jahil terlihat di bibir Adara yang mungil tapi memerah seperti delima.

"Ibu pemborosan kata, apa dulu Ibu mendapat nilai buruk di kelas Bahasa Indonesia?" Jawab Adara sepolos mungkin untuk keberhasilan aktingnya kali ini. Ia senang melihat wajah memerah guru 'kesayangannya'.

"Cepat.. putari.. lapangan.. sebanyak.. 2 kali.. sebelum.. saya.. berubah.. pikiran!" Desis Bu Rahma penuh penekanan disetiap kalimatnya.

Buru-buru Adara meninggalkan Bu Rahma yang kolot sebelum guru killer itu berteriak dengan sekuat tenaga untuk menyebutkan nama lengkapnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kekuatan yang kau tinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang