Toxic Husband

159 17 1
                                    

"Kau benar-benar brengsek, Killeon!"

Aku berteriak sekencang mungkin dengan kedua mata yang tak lagi mampu membendung lelehan hangat yang terasa membakar kelopak mata. Dengan kedua tangan mengepal, aku memukul dadanya. Tangis dan raungan penuh amarah sekaligus luapan keputusasaan tak mampu kupendam lagi.

Killeon, pria kejam itu tak menanggapi sedikit pun kemarahanku. Hanya diam, memandangku dengan wajah tertunduk. Tatapan dingin nan selalu memandangku remeh itu membuat dadaku semakin sesak.

Semua potongan ingatan buruk seolah sedang marathon di kepalaku. Ingatan buruk tentang masa sekolah hingga bangku perkuliahan. Killeon, benar-benar menjadi momok mengerikan dalam ingatanku. Bagaimana pria itu tertawa bersama orang-orang yang mengarahkan kamera kepadaku. Bagaimana tawa merendahkan dan menyudutkan terdengar seperti kaset rusak yang membuat telingaku sakit hingga kepalaku nyaris pecah.

Aku membencinya. Bahkan, di saat perasaan benci ini sangat membuncah, aku terpaksa menikah dengannya, pembully menjijikkan, penjahat kelamin*n sekaligus ayah dari janin yang baru saja dikabarkan keguguran itu.

"Kau kejam, Killeon! Kau benar-benar kejam!"

Bagaimana bisa aku menerima kenyataan bahwa janin dalam rahimku keguguran karena didorong pacar Killeon. Ya, kau tidak salah dengar. Killeon, pria itu memiliki pacar gila yang tidak segan menyakitiku.

"Jika memang ingin memilikimu, dia harusnya bilang saja padamu. Kenapa melampiaskan kepadaku? Kenapa? Kenapa semua kebencian selalu dilampiaskan kepadaku?!"

Aku mendongak, menatap penuh amarah pada Killeon. "Kau puas? Kau puas melihatku seperti ini? Bukankah penderitaanku adalah kebahagiaanmu?"

Apa yang kukatakan tidak salah. Kenyataan bahwa perlakuan kejam Killeon selama ini padaku adalah karena ayahnya berselingkuh dengan ibuku. Padahal, ibuku juga bukan jenis orang yang peduli padaku, bahkan tidak ragu membuangku si panti asuhan.

Ini adalah awal dari semua penderitaanku. Musim dingin saat ulang tahunku yang ke lima belas tahun. Saat itu, panti asuhan kedatangan tamu istimewa, anak konglomerat, yang sedang gabut ingin jalan-jalan ke panti asuhan. Itu adalah kali pertama aku bertemu Killeon. Ya, Killeon remaja, dua tahun lebih tua di atasku, datang ke panti asuhan dengan alasan bosan ingin jalan-jalan.

Bak kisah negeri dongeng, Killeon mengajakku pindah ke kota layaknya pangeran menjemput sang putri kembali pulang ke kerajaan. Namun, ini bukan kisah dongeng. Justru ini adalah awal dari kisah kesengsaraan tak berujung.

"Mulai sekarang, kau tinggal di asrama," ucap Killeon sesaat sebelum dia kembali pergi bersama mobilnya meninggalkanku seorang diri di depan gerbang asrama putri sebuah sekolah elit.

Hari itu salju turun begitu deras. Pak satpam membantuku membawa barang-barangku yang tak seberapa masuk ke dalam asrama. Alih-alih mendapatkan sambutan hangat, nyaris semua orang di dalam sana memperlakukanku sangat buruk. Baru menginjak di kamar baru, para gadis rekan sekamarku menyambut dengan tatapan tajam. Itu adalah awal ketika kepalaku sering terluka di kamar mandi, atau jarum yang sengaja ditusuk di lengan yang tertutup baju, juga pukulan dan tendangan yang aku sendiri awalnya tak tahu mengapa para gadis di asrama memperlakukan dengan buruk, baik secara verbal dan fisik.

Di sekolah, semua tidak lebih baik. Aku yang menganggap Killeon sebagai satu-satunya tempat bersandar ternyata salah besar. Killeon, dia selalu menyeretku ke belakang sekolah, mempermainkanku, menertawakanku, dan menvideokan penampilan burukku. Aku stres, tapi Killeon selalu memfasilitasi semua kebutuhanku, bahkan dia juga membawaku ke psikiater.

Seolah mengobati jiwaku, tetapi semua tak lebih dari jeratan rantai iblis. Dia menyiksaku, mengobati, membuatku sekarat hingga ingin memilih mati, tetapi melarangku.

Reincarnation of The Antagonist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang