5 · His Heart & Soul

295 47 9
                                    

"Lou, kereta kita peron berapa?" aku menyikut Louis dengan pelan.

Aku dan Louis berada di London. Kami berdua ingin pulang ke Doncaster dengan kereta. Kami sangat menyukai kereta, karena dulu dia memintaku untuk menjadi kekasihnya di kereta.

Kereta membuat kami teringat dengan kenangan itu.

"Peron 5," jawabnya singkat, "Ada di sana," dia menunjuk arah di sebelah kananku.

Kami berdua berjalan di dalam stasiun itu. Bunyi decitan kereta yang berhenti ataupun yang hanya sekedar lewat menggema memenuhi telingaku.

Aku dan Louis duduk bersampingan, di samping Louis ada seorang anak kecil dan ibunya yang juga sedang menunggu kereta.

Anak kecil itu mungkin berumur sekitar tiga tahun.

Louis meletakkan tangannya di kakiku, dia tersenyum dan berkata, "I can't wait to marry you."

Aku tersenyum malu mendengar komentarnya. Status kami masih bertunangan, karena setelah berpikir lebih matang aku takut belum siap untuk memiliki keluarga sendiri.

"Trevor, jangan berlari ke arah sana!" seru ibu tadi pada anaknya, tapi dia terlambat.

Anak -yang bisa ku tebak bernama Trevor- itu telah terjun ke rel kereta api.

"Holy shit!" aku tersontak saat Louis bangkit dan menghampiri Trevor.

Aku menyusul Louis sambil tersenyum. He has a pure heart and soul, dia sangat menyayangi anak-anak. Deep down inside, aku tidak ragu lagi dia akan menjadi ayah yang baik untuk anakku nanti.

Aku berlutut dan melihat Louis di bawah. Dia mengangkat anak itu dan memberikannya ibu Trevor. Trevor dan ibunya sudah naik ke atas meninggalkan Louis di bawah.

Aku melihat Trevor yang memiliki luka pada tubuhnya sebelum mengulurkan tanganku pada Louis, "You're a hero, Louis. Sekarang cepat naik ke atas, tidakkah kau mendengar suara kereta api mulai menggema?"

Louis meraih tanganku, tetapi langkahnya tertahan.

"Shit," umpatnya dengan mata yang membelalak.

Jantungku berdegup cepat, "What's wrong?"

"I'm stuck!" serunya panik.

"Louis, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda!" aku menarik Louis, tapi aku tidak bisa.

Dari kejauhan, sebuah kereta berkecepatan tinggi datang melintasi rel tempat Louis berdiri.

Napasku tidak lagi beraturan karena rasa panik mulai menyelubungiku, "Louis, get the fuck up here!" teriakku mengundang perhatian orang di sekitarku.

Kerumunan orang mulai berdiri di sekelilingku.

"I'm stuck, Luna!"

"Lepas sepatumu!"

Louis melepaskan genggamanku untuk melepas sepatunya. Kemudian, dia berdiri, "Yang tersangkut rel bukan sepatuku, Luna, tapi kakiku."

What the fuck what the fuck what the fuck.

Aku menangis saat suara kereta semakin kencang, "Louis, please. Hentikan candaan bodohmu ini," lirihku dengan putus asa, karena aku tahu kali ini Louis tidak bercanda.

"I can't."

Sebuah ide gila muncul di otakku, aku berdiri, "Kalau begitu aku ikut bersamamu."

"Somebody please hold her!" Louis berseru pada orang di sekelilingku.

Baru sekali aku melangkah, kedua tanganku tertahan oleh orang yang tidak aku kenal.

"Let me go!" aku berontak sekuat tenaga, "Louis, how could you do this to me?!" bentakku.

Aku melihat mata Louis berkaca, bibirnya menyunggingkan senyuman pasrah yang membuatku semakin lemah, "I love you so much, Luna. Don't ever forget that."

"Louis," aku menangis memanggil namanya, "Jangan tinggalkan aku seperti ini. Kumohon," lututku terjatuh lemas menghantam lantai.

Kereta itu bergerak semakin mendekat.

Dia tidak boleh melakukan ini padaku. Kami berdua sudah bertunangan. Kami akan menikah. Memiliki keluarga yang sempurna. Memiliki hewan peliharaan. He can't do this to me.

"Maafkan aku, Luna."

Aku menggeleng, "Don't do this. I love you, Louis. Kumohon."

Kereta itu menghantam Louis dan dalam waktu yang bersamaan pula, hatiku hancur bersama tubuhnya.

"Louis," aku hanya bisa memanggil namanya dengan lemah, "I hate you for leaving me like this."

Seharusnya aku bisa menemaninya di bawah sana. Seharusnya aku tidak membiarkan dia menolong Trevor. Seharusnya kami tidak pulang naik kereta.

Tapi itu semua terlambat.

Aku terus menangis dan meraung seperti orang tidak waras. Aku melihat cincin pertunanganku dan tangisku semakin keras dan memilukan.

I lost him forever.

---

Aku tersenyum miris mengingat kenangan itu. Pada sore itu, 15 Oktober 2014, di saat daun gugur berjatuhan melintasi kota London, Louis meninggalkanku untuk selamanya.

Tentu saja aku belum bisa melupakannya.

Sampai sekarang di memoriku, aku selalu teringat dengan hati dan jiwanya yang begitu murni. Bahkan melebihi kemurnian emas mana pun.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

A/N

Masih ada epilogue yaaa.. Maaf endingnya begini.

Thank you for reading. I appreciate it a lot x

Love, Karen xo

Flashback // l. tomlinson [A.U]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang