"Mas Gala."
Niskala beranjak dari duduknya dan memberanikan diri mendekati suaminya yang sedang fokus melihat ponsel.
"Mas, aku mau bicara," ucapnya.
"Bicara saja."
Gala tak melepaskan pandangannya dari ponsel. Niskala tak bisa untuk tidak berprasangka buruk sejak melihat sebuah foto yang dikirimkan nomor asing padanya. Foto di mana suami yang begitu ia cintai dan hormati sedang berpelukan bersama seorang wanita.
Bukan tak tahu wanita itu siapa. Justru karena Niskala mengetahui hatinya semakin sakit. Wanita itu adalah Gentari yang akrab disapa Tari, kekasih Gala. Orang yang selalu dibanding-bandingkan derengan dirinya dari awal menikah sampai saat ini, lima tahun lamanya.
Hal yang ditakutkan Niskala akhirnya terjadi. Tari kembali dan Gala akan menceraikannya untuk menikahi Tari. Bahkan permintaan perceraian itu sudah diucapkan Gala seminggu yang lalu. Namun Niskala menolak dengan membawa alasan anak dan mertuanya.
"Berikan waktu tujuh hari untuk merasakan kita menjadi suami istri sesungguhnya, Mas. Setelah ini aku janji akan menyetujui permintaan kamu untuk bercerai," ucap Niskala yang sukses membuat Gala meletakkan ponselnya.
Gala menatap Niskala yang kini hanya berjarak lima meter darinya. "Jangan bercanda, Kala. Lima tahun selama ini apa nggak cukup kamu menyiksaku? Aku benar-benar lelah, Kala. Aku yakin kamu pun merasa tersakiti dengan sikapku. Lelahku juga sama dengan lelahmu. Tolonglah, Kala. Mari kita bercerai dan mencari kebahagiaan masing-masing."
Ini adalah kalimat terpanjang yang diucapkan Gala padanya. Kalimat yang begitu menyakitkan juga. Biasanya hanya beberapa kata, itu pun sering berisi umpatan kebenciannya. Niskala mencoba menyelami bola mata suaminya. Terlihat sungguh-sungguh. Ia mencoba menguatkan hati dan mencoba untuk tersenyum.
"Aku hanya ingin ada kenangan manis selama kita menikah. Apa itu salah? Lagi pula hanya tujuh hari. Tidak lebih."
Gala tertawa. "Kenangan manis? Halah, Kala. Sudah cukup waktu lima tahun aku habiskan dengan sia-sia hidup bersama kamu. Jangan kamu menambah lagi. Aku rasa kamu belum tuli seminggu yang lalu aku bilang apa. Tari sudah kem-"
"Hanya tujuh hari, tidak lebih. Setelahnya tanpa kamu minta aku yang akan pergi, Mas. Aku mohon," ucap Niskala menatap memohon pada suaminya. "Aku juga akan membujuk Mama untuk menyetujui perceraian kita."
Gala berdecih. "Kamu selalu membawa Mama dalam hubungan ini. Aku muak mendengarnya. Besok akan kudaftarkan perceraian kita ke pengadilan. Terserah kamu, Mama, atau siapa pun tak setuju. Aku tetap dengan jalanku."
Niskala berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Ia tersenyum yang justru membuat Gala menautkan alis heran. Biasanya Niskala akan menangis jika sudah begini, namun sekarang tidak.
"Kamu yakin, Mas? Kamu yakin pengadilan menyetujui permintaanmu. Kamu tidak mempunyai alasan apa pun untuk menceraikanku. Ya bisa saja, tapi prosesnya lama. Sementara kamu pasti akan mau cepat kita bercerai untuk menikahinya, 'kan?"
Gala mencerna perkataan Niskala. Ya, memang ada benarnya. Ia tak memiliki alasan apa pun untuk menceraikannya. Selama lima tahun menikah, ia tak memiliki cela sama sekali. Niskala selalu melayaninya dengan baik. Dari ia bangun sampai tertidur kembali.
Niskala juga tak pernah menolak ketika diajak berhubungan intim untuk menuntaskan hasrat lelaki dewasanya. Meskipun sangat jarang, tapi Gala akui kalau Niskala begitu menikmatinya.
Hadirnya Sabiya ia kira akan mengubah perasaannya pada Niskala, namun tidak juga. Bukan ia tak pernah mencoba mencintai Niskala, tapi tak bisa. Rasa cintanya pada Gentari sangat besar. Walaupun sudah ditinggalkan tanpa kabar, hati Gala tetap terjaga untuknya.
"Bagaimana, Mas?"
Gala tak menjawab. Ia justru bangkit dari duduknya lalu keluar dari kamar dengan menutup pintu dengan keras, membuat Niskala terlonjak kaget. Niskala menutup rapat matanya seiring dengan air mata yang keluar.
Isakan kecil lolos dari bibirnya. Hatinya benar-benar terasa sakit. Ini bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Ia sadar pernikahannya di ujung tanduk. Lima tahun tanpa adanya Tari saja tak bisa membuat Gala jatuh cinta padanya. Apalagi ini hanya tujuh hari dengan adanya Tari?
Niskala tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika perpisahan itu benar-benar terjadi. Banyak yang ia kecewakan, terutama Sabiya. Anak mereka yang menjadi satu-satunya alasan Niskala bertahan.
Gala memang gagal menjadi suami yang baik untuknya. Tapi ia adalah ayah yang baik untuk Sabiya. Niskala mengakuinya. Sabiya bahkan selalu mengagumi ayahnya. Kedekatan mereka seakan menjadi pengobat rasa sakit yang diberikan Gala untuknya.
"Maafkan Bunda, Biya, jika setelah ini kita akan hidup terpisah dari Ayah."
***
"Loh, Gala. Bukannya kamu bilang lagi nyelesaikan kerjaan kantor? Kok malah ke sini?"
Gala tak menjawab. Dia memilih duduk di kursi depan TV apartemen milik Tari. Ya, Gala meninggalkan Niskala begitu saja untuk menemui Tari. Ia harus meminta pendapat pujaan hatinya tentang tawaran konyol istrinya itu. Bagaimana pun Gala juga berjanji akan menikahi Tari.
"Niskala minta dalam tujuh hari ke depan aku harus jadi suami sesungguhnya untuk dia," ucap Gala tanpa menjawab pertanyaan dari Tari.
Tari mengernyitkan alisnya bingung. "Suami sesungguhnya? Bukannya kamu sudah jadi suami sesungguhnya. Kalian bahkan udah punya anak juga, 'kan."
Gala menghela nafas lalu duduk tegak sambil menatap Tari. Ia menceritakan maksud dari perkataannya barusan. Juga tentang rencana kesepakatan yang ia buat setelah menuruti permintaan Niskala.
"Ya sudahlah, Gal. Turutin aja. Lagian aku yakin nggak sampai tujuh hari dia juga bakalan pergi," ucap Tari yakin sambil menyandarkan kepalanya di bahu Gala.
"Tapi kalau dia berhasil buat aku jatuh cinta bagaimana?" tanya Gala dengan maksud bercanda.
"Nggak akan mungkinlah. Gala, kamu itu cinta banget sama aku. Aku cinta pertama kamu. Bahkan selama lima tahun ini kamu menjaga hati kamu buat aku, ya walaupun kamu tidak bisa menjaga diri kamu buat tidak meniduri wanita lain," ucapnya dengan nada kesal di bagian akhir kalimatnya.
Gala tersenyum sambil mengelus lembut kepala kekasihnya. "Aku pria normal. Lagi pula aku melakukannya juga karena aku berpikir kamu benar-benar selingkuh setelah pergi ke luar negeri. Aku membalas rasa sakitku dengan meniduri Niskala."
Ya, memang sebulan setelah perginya Tari ke luar negeri Gala mendapat kiriman pesan dari Abangnya yang berisi foto Tari bersama seorang pria. Saat itu kebetulan teman dari Abangnya tidak sengaja melihat Tari sedang berjalan bersama seorang pria dan mengirimkannya kepada abangnya Gala.
Saat itu pikiran Gala sedang kacau. Tidak bisa menyusul karena ancaman kedua orangtuanya dan juga saat itu ia akan menikahi Niskala. Ia benar-benar dilanda kebingungan. Sampai-sampai ia mempercayai dan mencoba membuka hati, walaupun sampai saat ini hatinya masih milik Tari.
Cup!
Tari mencium sekilas bibir milik Gala lalu tersenyum. "Sudahlah. Aku percaya sama kamu. Lagi pula tujuh hari tidak lama. Setelahnya kita akan menikah," ucapnya lalu kembali mencium bibir Gala.
Awalnya ragu untuk membalas, perlahan Gala mengikuti permainan yang dimulai oleh Tari. Ia benar-benar merindukan kekasihnya ini. Sudah lama ia ingin memeluk, mencium wanita yang kini di bawah kukungannya. Dan malam ini ia melampiaskan seluruh kerinduannya tanpa ia tahu bahwa di rumah ada seorang wanita yang sedang menangisinya, wanita yang mencintainya, dan ibu dari anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Pesona Istri Yang Diabaikan
Romance"Niskala ... aku minta maaf. Aku menyesal." "Sudah terlambat, Mas. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk aku membuatmu jatuh cinta kepadaku. Bahkan waktu 7 hari sebagai permintaan terakhirku kamu sia-siakan. Aku lelah, Mas." Seandainya waktu bi...