Pukul tiga dini hari Gala sampai di rumah yang sudah lima tahun ini ia tinggali bersama istri dan anaknya. Rumah mewah berlantai tiga yang dibangun di atas tanah milik kedua orangtuanya. Sebenarnya Niskala ingin tinggal di rumah sederhana saja, namun kedua orangtua Gala memaksa anaknya itu untuk membangun rumah yang begitu nyaman ini untuk mereka tinggali. Ya, sesayang itu orangtua Gala kepada Niskala.
Gala langsung naik ke lantai dua tempat di mana kamarnya bersama Niskala. Dari awal menikah memang ia sudah tidur sekamar. Lagi pula saat itu memang niat Gala menjadikan Niskala pelampiasan di saat Gentari meninggalkannya.
Pandangan pertama yang Gala lihat adalah Niskala yang sedang melaksanakan shalat malam. Rutinitas yang hampir tak pernah ia tinggalkan. Berbeda dengan dirinya yang kadang shalat lima waktu saja masih diingatin oleh Niskala.
Gala langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia sudah mengambil keputusan untuk menerima tawaran Niskala, asalkan setelah tujuh hari mau tidak mau Niskala harus mau bercerai dan pergi dari hidupnya.
Begitu selesai, ia tak mendapati Niskala di kamar. Segera ia memakai pakaian dan turun ke bawah. Tepat, di sana wanita yang ia nikahi lima tahun yang lalu sedang bersiap untuk memasak sarapan. Sepagi ini? Ya, memang selalu begitulah kebiasaannya.
"Niskala?"
"Ya, Mas?" Niskala tak menatap suaminya. Ia masih fokus mencari bahan-bahan yang akan ia masak di kulkas.
"Apa yang akan kamu lakukan di tujuh hari ke depannya kalau aku menyetujui permintaanmu?" tanya Gala.
Niskala terdiam dan menghentikan aktifitasnya. Ia tak bisa untuk tidak tersenyum.
"Niskala," panggil Gala kembali.
Niskala mendekati Gala yang kini duduk di meja makan. "Aku ingin kita menjadi seperti pasangan suami istri pada umumnya, Mas."
"Maksud kamu yang bagaimana?"
"Kamu memperlakukan aku sebagai istri dan layaknya orang yang kamu cintai. Kita menghabiskan waktu dengan jalan-jalan atau sekedar makan di luar bersama Sabiya. Selama ini kamu hanya pergi sama Sabiya, Mas. Kali ini dalam tujuh hari ke depan aku akan ikut. Kamu perlakukan aku dengan sangat romantis dan-"
"Itu berlebihan. Kala, tolong jangan permainkan aku. Aku hanya ingin kita berpisah dan hidup bahagia masing-masing."
Sakit. Ya, Niskala sungguh sakit mendengar perkataan suaminya itu. Tapi ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman manis yang ia berikan pada sang suami.
"Hanya tujuh hari, Mas. Setelahnya aku berjanji tidak akan mempersulit jalanmu untuk menceraikanku. Bahkan aku sendiri yang akan mendaftarkan perceraian kita ke pengadilan," ucap Niskala sambil tersenyum.
Gala melihat senyuman istrinya yang entah kenapa terasa berbeda. Bukan senyuman manis yang dulu ia sering lihat di awal pernikahan. Tetapi senyum yang dibaliknya ada maksud tertentu.
Ya, Niskala dulu memanglah gadis yang ceria dan selalu menebar senyuman. Termasuk di awal-awal pernikahanya bersama Gala. Namun seiring berjalannya waktu senyum yang selalu ia berikan berubah menjadi tangis.
Sikap, perlakuan, serta perkataan-perkataan Gala selalu sukses membuatnya menangis. Ia selalu menjadi wanita yang pendiam dan cenderung selalu menyalahkan diri sendiri. Hanya di depan keluarga mereka saja Niskala bersikap seolah ia menjadi istri yang paling bahagia.
"Baiklah. Janjimu akan kupegang."
Setelah mengucapkan itu Gala langsung beranjak dari duduknya meninggalkan Niskala yang kini tersenyum dengan air mata yang mengalir di pipi putihnya. Ia menatap punggung kekar milik suaminya itu yang kini sudah menjauh.
"Iya, Mas. Aku berjanji akan pergi. Tapi jika aku berhasil meluluhkanmu, maaf kalau aku harus mengingkarinya," ucap Niskala dalam hati.
***
"Baca surat ini lalu cepat kamu tandatangani," ucap Gala sambil memberikan selembar kertas yang berisi surat perjanjian.
"Apa ini, Mas?" tanya Niskala bingung.
"Surat perjanjian. Aku nggak mau kamu mempermainkanku."
Niskala tersenyum kecut. Segitu takutnya suaminya ini akan dirinya berbohong. Dan sebegitu inginnya keinginan suaminya ini untuk bercerai.
"Di sana tertulis aku akan mengikuti semua permintaanmu selama tujuh hari. Aku akan menjadi seperti suami yang kamu mau. Dan setelah tujuh hari kamu bersedia bercerai dan pergi dari hidupku," ucap Gala.
Dengan hati yang berat, Niskala menandatangi surat tersebut tanpa ia mau membacanya lagi. Toh tidak ada gunanya juga untuk dibaca lagi. Semua akan terjadi sesuai keinginan Gala, kecuali jika Gala sudah mencintainya dalam tujuh hari ke depan.
"Nih, Mas." Niskala memberikan lagi kertas itu kepada Gala.
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanya Gala yang heran dengan tatapan istrinya.
Niskala memberanikan diri mendekati Gala. Lalu mengambil tangan kanannya untuk ia salim dan cium dengan takzim.
"Mas Manggala Albirru Samudra, terima kasih kamu sudah menikahiku lima tahun yang lalu. Terima kasih sudah menjadi ayah terbaik untuk Sabiya. Aku tak akan menuntut hak asuh anak dan akan menyerahkan semuanya pada pengadilan.
Aku tau kamu juga sangat menyayangi Sabiya. Jadi, aku tidak mau egois. Jika hak asuh Sabiya jatuh ke tanganku, aku tak akan melarangmu kapan pun akan bertemu Sabiya. Dan aku meminta hal sebaliknya. Bagaimana pun kita adalah orangtua Sabiya. Sabiya pasti membutuhkan kedua orangtuanya.
Kamu sosok lelaki yang selalu dibanggakan Sabiya, Mas. Sabiya selalu menyebutmu 'hero'. Cinta pertama untuk Sabiya."
"Dan cinta pertama juga untukku," lanjutnya dalam hati.
Gala terdiam ketika mendengar penuturan istrinya. Gala sangat menyayangi anaknya. Ia pun sadar kalau perceraiannya dan Niskala akan menyakiti hati putri kecilnya. Tetapi Gala juga ingin menjemput bahagianya.
Tidak mungkin ia menghabiskan sisa umurnya untuk hidup bersama orang yang tidak ia cintai bahkan tak ia inginkan sama sekali. Omongan Niskala ada benarnya. Ia juga tak menuntut hak asuh atas Sabiya. Biarlah pengadilan yang memutuskan.
"Baiklah. Aku mandi dulu."
"Tunggu, Mas."
Gala berbalik badan dan menatap dengan malas Niskala yang sedang tersenyum.
"Permintaanku yang pertama, tolong berbicara dengan lembut dan hangat baik ada atau tidaknya orang lain selain kita. Seperti yang sering kamu lakukan di depan Sabiya, Abi, Ummi, dan Mama."
Gala berdecak kesal. Ia hendak memprotes, namun teringat akan perjanjian mereka. Dia sudah menyetujui akan melakukan apa pun yang diminta oleh Niskala.
"Baiklah. Kala, Mas mau mandi dulu. Puas!"
Setelahnya Gala berbalik badan kembali dan berjalan cepat ke arah kamar mandi. Niskala menggeleng-gelengkan kepala melihat suaminya. Ia bertekat harus bisa membuat suaminya jatuh cinta dalam tujuh hari.
Ini adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan pernikahannya dan Gala. Jika tidak berhasil juga, ya sudah. Ia pasrah untuk berpisah.
"Mas, jangan lama-lama mandinya. Sebentar lagi waktu subuh masuk. Kita akan shalat berjamaah," ucap Niskala di depan pintu kamar mandi.
"Iya."
'Sial, dia kira dia siapa yang sesukanya memperintahku seperti itu? Kalau bukan karena perjanjian itu, aku nggak akan mau menuruti semua permintaan konyolnya. Hih!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Pesona Istri Yang Diabaikan
Romansa"Niskala ... aku minta maaf. Aku menyesal." "Sudah terlambat, Mas. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk aku membuatmu jatuh cinta kepadaku. Bahkan waktu 7 hari sebagai permintaan terakhirku kamu sia-siakan. Aku lelah, Mas." Seandainya waktu bi...