O5. Rumitnya Hidup

1K 106 66
                                    

Masuk notif gak gais??


***

Setiap pagi dan sore, Bapak memang selalu rajin menyirami tanaman-tanaman hiasnya di depan rumah, terutama tanaman pakis. Bukan tanpa alasan, pakis itu adalah pemberian dari karib Bapak sebelum pensiun, entah apa filosofinya. Boleh jadi, menurut orang-orang memang pakis hanyalah seonggok tumbuhan liar, tapi kalau kata Bapak, pakis itu hebat karena bisa tumbuh di mana saja dan cepat hidup.

Tak lama setelah Bapak menyiram tanaman, Raja pulang dari kantor dengan baju batik pakaian dinas hari Rabu. Raja lanta menghampiri Bapak, mengucap salam lalu salim.

"Mas Raja nggak punya cita-cita gitu, pulang kerja disambut cewek cantik dipeluk cium?" sindir Bapak.

Raja menghela napas. Entah sudah ke berapa kali Bapak selalu menyinggungya perkara ini. Pemuda itu paham betul, sebenarnya Mama dan Bapak juga ingin seperti orang-orang seusianya—hidup bahagia bersama cucu-cucunya.

"Tiap pulang udah disambut Mama di rumah, emang Mama kurang cantik?" balas Raja.

Ia memilih berlalu, tidak mempedulikan Bapak. Tanpa ia sadari sebelumnya, di dalam rumah ternyata ada tamu. Untuk memastikan, Raja mengulang langkahnya, ia kembali ke pintu sebentar dan benar, di luar pagar sana ada mobil si tamu. Ya, tamu yang tidak terlalu disambut anak Pak Jamal, kecuali Jafran karena masih sering dapat angpau.

"Budhe ngapain ke sini?" ketus Raja.

Mama yang melihat reaksi Raja sedemikian rupa lantas menegur pemuda itu. Menyuruhnya bersalaman pada Budhe, lalu duduk bersama.

Setelahnya, Raja celingak-celinguk mencari di mana saudaranya yang lain. Ia yakin, mereka semua pasti pura-pura tidur di kamar karena enggan menemui Budhe.

"Budhe ke sini nganterin undangan nikahannya Oki," jelas Budhe.

Raja agak terkejut mendengar ini. Seingatnya, Oki itu masih seusia dengan Satria. Cepat sekali ia menikah.

Di jarak yang tak cukup jauh dengan Raja, Budhe tiba-tiba memegang bahu Raja.

"Raja umur segini kok nggak nikah-nikah, sih?"

"Emang kenapa kalau belum nikah, Budhe? Raja juga ngerasa fine-fine aja, tuh."

"Nanti keburu tua kayak Raka tuh. Sekarang malah nggak ada yang mau, kan?"

Sialan. Kalimat apa itu barusan? Raja sampai menengok pada Mama, memastikan bagaimana ekspresi Mama.

Kali ini, Raja hanya tersenyum tipis. Rasanya, akan lebih menyakitkan lagi jika Raka yang ada di posisi ini. Untungnya, Raka belum pulang dari kantor, jadi Raja saja yang kena.

"Budhe, justru Raja yang harus mempertanyakan kenapa anak Budhe buru-buru banget nikahnya. Usia 24, 25 itu malah masa-masanya menikmati pengalaman baru nggak, sih? Sabar aja, mau ke mana buru-buru nikah udah kayak ditagih bayar UKT."

Untuk Raja dan Raka, keduanya sudah sangat kebal dengan pertanyaan terkait kapan menikah. Orang-orang memang seperti itu, mendesak tanpa tahu apapun soal orang yang didesak. Bagi keduanya, berumah tangga bukan sekadar urusan ranjang, tapi juga harus tanggung jawab mencukupi semua nafkah lahir maupun batin. Untuk apa menikah muda jika masih bergantung dengan harta orang tua—atau lebih parahnya malah cerai.

"Kamu kan juga udah kerja, Ja. Udah punya pacar juga, kenapa nggak cepet nikah?" tanya Budhe lagi.

Raja menghela napas untuk yang ke sekian kali.

"Jodoh nggak tau datangnya kapan, Budhe. Nggak ada yang tahu nanti Mas Raka sama Raja berjodoh sama manusia, atau sama maut duluan. Umur juga nggak ada yang tahu, banyak kok yang seusia Budhe udah meninggal, tapi Budhe masih sehat aja, kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lampu Merah | NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang