06 - The Agreement

2.1K 334 34
                                    


Berkawankan kesendirian, kini kembali ia melanjutkan kehidupan yang tak pernah memberinya titik terang. Begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan tapi ia tak tahu, kepada siapa pertanyaan itu bisa menemukan jawaban. Pun ada banyak perasaan yang ingin ia adukan, tapi sampai saat ini, ia tidak pernah tahu kepada siapa keluhnya bisa diterima. Baginya semua hanya abu-abu. Tidak ada titik terang dari banyaknya keraguan yang terus ia hadapi seorang diri.

Kali ini pun sama, hidup yang tengah ia jalani hanyalah langkah yang tidak pernah menemukan arti. Ia tidak pernah tahu muara akhir dari perjalanan yang terus memaksanya untuk berlari. Hidupnya begitu sunyi, lampu-lampu taman pun tak akan bisa memberinya terang meski ia berada di sana semalaman.

Layaknya manusia lainnya, pertanyaan tentang untuk apa hidup juga tak henti bergumam dalam pikirannya. Awal yang ia anggap berakhir bahagia ternyata mampu melukai harapan yang telah ia bangun. Keluarga? Satu hal yang seharusnya mencipta hangat ternyata menjadi kunci utama dari hancurnya kehidupan yang semula ia harapkan.

Tidak pernah ia dengar gurauan, sapaan selamat pagi juga pertanyaan sederhana tentang, apa kabar ananda hari ini dari orang yang dianggap sebagai surganya. Terlupa, ternyata pernah, ia pernah merasakan itu sebelum semesta merenggut paksa sebuah nyawa. Bagi Nara, saat ini ia hanya sedang berusaha menjalankan skenario yang diciptakan Tuhan. Memainkan peran dengan optimal agar episode ini dapat segera selesai’.

Menatap langit, indah, berisikan banyak bintang yang bergantian menunjukan kilaunya. Mencoba menghitungnya namun keinginan Nara tiba-tiba terhenti tak kala sapuan angin malam dengan sopannya berhembus menyentuh kulitnya. Suasana malam ini ternyata mampu mencipta dingin untuknya lebih tepatnya raga dan jati dirinya yang entah harus bawa kemana. Beruntung sweater yang sedang ia gunakan sedikit tebal sehingga mampu mengusir rasa dingin yang perlahan menyelimuti. Tak lupa, di atas meja juga ada secangkir teh hangat yang telah ia buat sebelumnya. Minuman itu sengaja ia tambahkan gula lebih banyak, melewati takaran yang seharusnya sebab hanya dari secangkir teh ini ia bisa merasakan manis dari pahit yang selalu ia rasakan dalam hidupnya.

Di tangannya, kini sudah terdapat buku Autopsy Pathology yang ia beli lima belas hari yang lalu. Sempat tersentuh, buku itu telah ia baca pada bagian pertama juga kedua yang menjelaskan gambaran umum tentang apa itu autopsy . Pada bagian itu juga terdapat penjelasan secara garis besar tentang step by step dari proses autopsi. Setidaknya setelah membaca bagian itu, ia bisa menyimpulkan bahwa Prana sedang tidak melakukan kebohongan untuk banyaknya waktu yang harus ia tunggu demi mengetahui hasil akhir dari sebuah kejadian janggal ini.

Malam ini kembali ia bawa buku itu untuk ia baca. Namun baru saja terbuka, buku itu ia tutup kembali. Kosong, pikirannya kini mendadak tak berpenghuni. Hatinya sedikit menggumamkan tentang apakah yang sedang ia lakukan ini adalah sebuah keharusan?

Lewat luka yang ia dapatkan, hanya bermodalkan salinan darah di tubuhnya, laki-laki yang sempat ia panggil sebagai ayah apakah harus ia cari tau sebab kematiannya? Jikapun pada akhirnya dia tau, lantas setelahnya apa yang akan ia lakukan? Apa untungnya bagi hidup Nara yang selama ini bahkan selalu berjarak dengannya? Dan ia yakin, laki-laki itu akan tetap menghuni neraka. Apa ini hanya tentang rasa puas karena telah mengetahui? Atau ada rasa lain yang sampai sekarang juga belum ia mengerti? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang muncul di benak Nara setelah cukup lama ia mencoba menggali semua misteri tentang kematian ini.

Merasa pikirannya tak bisa untuk diajak kompromi, malam ini Nara memutuskan untuk mengakhiri rangkaian hari ini. Berjalan ke arah kasur dan merebahkan dirinya di sana. Menutup matanya perlahan sembari berharap bunga tidur akan sedikit memberikannya rasa tenang.
 
Dan ternyata, rapalan mimpi tadi malam menjadi kenyataan. Buktinya hari ini, ia melewatkan sarapan pagi karena terlambat untuk kembali tersadar dari buaian mimpi. Walaupun sebenarnya mimpi itu tidak berarti, tapi setidaknya dengan bermimpi ia dapat merasakan hilang sebentar dari kenyataan yang tak pernah memberinya arah untuk jalan pulang.

A Symphony for Justice and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang