VI

103 17 0
                                    

"Aahh... haah... mnggh—" (Name) mendesah putus-putus, seluruh tubuh bagian bawahnya nyaris menyerah dari tekanan intens yang dirasakannya. Dengan tubuh gemetar, lelaki itu mencoba menarik nafas dan menyeimbangkan pernafasan, namun nafas terputus-putus dan tidak beraturan adalah satu-satunya yang bisa lolos dari mulutnya. Adrenalin mengaliri darahnya, membuat tubuhnya bergetar dan menjadi lebih terpacu lagi dengan makin kuatnya siksaan yang ia rasakan pada bagian bawahnya. "Aah! Ah! Aahngh haahh hnhgh...!"

"Ada apa? Sudah tidak mampu lagi?" Kaiser menyeringai lebar, muncul secara mendadak di sisi kanan tubuh (Name). Sang kakak mencondongkan tubuh, berbisik dengan tajam di telinga adik tersayangnya. "Kau sudah tidak kuat lagi hm, Meimei? Mau aku berhenti?"

"Nggh—ahh..." (Name) mengganggukan kepalanya kuat-kuat, memancing Kaiser untuk menyeringai lebih lebar.

Kakak lelaki dari (Name) memegangi dagunya, memaksannya untuk mengangkat dan menghadap tepat ke arah wajah sadis yang memandangnya rendah. "Ck, ck, ck," ucap Kaiser mencemooh. "Dasar tidak berpendidikan, memang itu cara memohon yang benar?"

Bibir (Name) bergetar, nafas panas dan putus-putus keluar dari mulutnya. Ia sudah berada di ujungnya, tidak dapat menahan diri lagi (Name) pun mendesah kuat tanpa menghiraukan apapun lagi, "Ah! Gege, tolong—kumohon, kumohon biarkan aku istirahat...! Haah, aku mohon!"

Kaiser tertawa puas. "Sudah setidaktahan itu? Baiklah." Kaiser menarik diri dan meniup peluit nyaring yang berdeging di telinga (Name). "Istirahat lima belas detik! Satu! Dua!"

(Name) langsung menekan tombol berhenti dan loncat dari treadmil untuk menyabet botol air minum terdekat dan menumpahkan seluruh isi ke muka-mukanya.

"Kamu ikan?" tanya Kaiser, mukanya masih saja merendahkan namun di saat yang sama puas menyiksa adiknya dengan sadis, memberikan set demi set latihan tidak masuk akal yang bisa membuat (Name) mati muda. "Selanjutnya, sprint di kolam renang? Atau handstand keliling lapangan badminton?"

"Haah... hahah... gak... hahh, mati nanti..." (Name) bahkan gak bisa bicara layaknya manusia normal setelah penyiksaan di tiga puluh menit pertama itu. "Gege, ampun—hah... kan cuman pisgor, kok dendem banget?"

"Mau jadi fit kan? Tapi gak bisa konsisten ataupun disiplin, mager makan cilok terus kerjanya. Paling benar itu ikuti semua perintahku dan jangan berani-berani melanggar." Kaiser ikut mengambil botol minum dalam genggaman (Name), kemudian meminumnya dengan santai dari mulut botol itu secara langsung. "Puah. Soalnya meimei bodoh dan plin-plan, sih."

"Ge... botolku... airku satu-satunya..."

"Jangan ngerengek, nanti kusuruh lari 60 menit sampai nangis dan teriak-teriak memohon ampun, lho," ucap Kaiser, tersenyum sinis lagi mengetahui ketidakmampuan adiknya. "Kau mana tahan?"

Dalam sepinya ruang bawah tanah rumah Kaiser yang penuh alat siksaan yang dipakai melatih tubuh sang adik sampai kayak praktik kultus terlarang, (Name) terus dipaksa untuk sprint bawah air, stretching sambil terjun payung, dan kegiatan-kegiatan tidak masuk akal lainnya.

"Ampun, Ge, udah!" seru (Name) akhirnya sudah mendekati mampus, lelaki itu pun hanya bisa tiduran di lantai sambil tengkurep dan kalau mau kemana-mana ngesot. "Kakiku mati rasa..."

"Sini aku gendong."

"Ih, pedho dni."

Melihat tubuh (Name) yang sudah berlapis keringat yang tanpa henti bercucuran, nafas yang tersentak dan patah-patah diselingi helaan dan desahan pelan dari sang adik yang sepertinya sungguh mencapai batasnya. Kerentanan dan ketidakberdayaan dari (Name), jika bukan Kaiser melainkan orang lain lah yang mengambil kesempatan itu barang sedikit saja..

Marry my "Sister"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang