"Cece, mau 20ribu kan?"
"Hah? Baik banget tiba-tiba," ucap lelaki yang dipanggil 'cece' dengan manjah oleh adiknya. Mereka berdua tatap-tatapan tiga menit sebelum mendadak (Name) lompat dari sofa dan teriak-teriak. "MAH! REO KERASUKAN!"
Reo memaksakan diri untuk gak menjambak rambut kakak tersayangnya, tapi gagal. "Heh! Dibaikin ngelunjak!" seru lelaki itu kesal, dia pun cak-cek-cak-cek dan memasang pout terimut yang bisa bikin saudara-saudaranya yang lain stroke karena geli. "Kukasih 20ribu. Tapi cium..."
Sambil mengusap kulit kepala yang sakit, (Name) menahan muntahan. "Jangan bikin video aneh-aneh," ucap lelaki yang sudah biasa melihat sewileran video serupa dengan situasi ini di FYP Tik*ok-nya. "Gak, gak mau konten!"
"Siapa yang konten, sih? Iih, suudzon, kata ustadz di pesantren kemaren dosa lo."
"Kita nonmus, blok-_- kamu ngapain ke pesantren?"
"Ya, ya? Cium, 20ribu, ya?" menolak penolakan, Reo terus mengulang-ulang pemaksaan yang ditutupi nada manja itu. (Name) yang mulai geli dan merinding akan perlakuan creepy yang sudah biasa itu pun akhirnya nyerah dan ngangguk tanpa headbang akibat takut sang adik mulai tantrum lagi, membuat senyuman (seram) manis muncul di wajah adik Reo.
Lelaki itu merayap mendekat, wajahnya berada tepat di hadapan (Name), mengunci tatapan mereka dan tidak membiarkan lelaki di bawahnya mengalihkan atensi dari sepasang mata tajam yang begitu mengintimidasi.
"Cium..." seiring rangkakan mendekatnya, adik lelaki dari (Name) itu mengistirahatkan kedua tangan di sisi kanan dan kiri tubuh (Name), tidak memberikan kelonggaran sedikitpun saat wajahnya dicondongkan untuk berbisik di sisi leher (Name). "... dimana?"
"Geli, woy! 20ribu, di pipi ajalah!" (Name) berusaha menahan rasa malunya demi 20ribu, lelaki ini bukan tidak ada harga diri hanya sedang mengidap cilok tanpa pemasukan saja.
Lagi-lagi pout penyebab setruk muncul di wajah Reo, jiwa-jiwa nawar turunan keluarga pun menguar darinya, "40ribu, deh?"
"Pipi." penuh pendirian, (Name) membuang muka ke samping dan menyodokan pipinya saja.
"50!"
"Pipi ya pipi!"
Reo mendesah pelan, ia memelankan suara dengan rendah, "... seratus..."
Mata (Name) melebar karena kaget mendengar nominal pemasukan ciloknya hingga tanpa sadar membuang wajah ke arah sebaliknya dan menoleh pada Reo, hanya untuk sang lelaki yang lebih muda mempertemukan lembut bibir mereka. "... hnn—" keterkejutan (Name) tidak direspon, Reo terlalu tersibukan dengan memejamkan mata dan mendorong dirinya pada (Name).
Lima detik berlalu seiring dengan degupan keras jantung (Name), namun Reo tidak juga menarik dirinya. Bibir yang tadinya menekan (Name) dengan lembut membuka, melumat bibir dari sang kakak dengan lebih kuat, menekankan kuat bibir mereka berdua hingga memaksa (Name) mendongakan wajahnya.
"Ah—R-Reo, hei—!" tubuh kedua sosok itu menempel begitu dekat dengan satu sama lain, lengan Reo mengambil inisiatif untuk memegang kedua sisi tubuh (Name), menahannya di tempat selagi lidahnya menjalar keluar untuk membasahi bagian dalam mulut yang telah basah dari (Name). "Hnggh... ahn—"
Jika bukan karena jedugan dan gedoran dari pintu rumah yang menandakan mereka tidak akan lagi hanya berdua di ruang tamu, Reo sudah akan menerkam sang kakak di sofa itu juga. Alih-alih, ia menarik diri dan memberikan jilatan terakhir di bibirnya sendiri dan bergumam, "Manis..."
Wajah (Name) yang sudah merah membiru dan mengungu, membuatnya sangat cocok ber-cosplay Than*s. "REO!"
Dengan senyuman (seram) yang manis, Reo melemparkan kartu kredit yang berkilau keemasan di bawah lampu rumah pada meja kopi di sebelah (Name). "Pin-nya ulangtahun Cece," ucap lelaki itu santai, sebelum lompat dari sofa dan ngilang gitu aja kayak jin. "Aku ada interview, dadah, Ce!"
Baru saja Reo hilang dari pandangan, Sae memasuki ruang tamu dan keheranan melihat (Name) yang nutup-nutup mulut seperti Inu*aki. "Covid lu?" tanyanya santai, sebelum matanya berserobok dengan kartu emas yang ditinggalkan Reo. "Idih, ini kartu rakyat jelata kenapa geletakan di sini? Buang gih, nanti kubeliin cilok pakai black card."
"HAYUK!" seru (Name) kelewat semangat dan langsung lompat dari sofa untuk menyosor abang cilok kurang beruntung yang pertama lewat di depan rumahnya, melupakan penyerangan yang sudah menjadi kebiasaan makanan sehari-harinya. Sementara itu sang kakak pemilik black card-nya hanya bisa senyum (?) nahan malu dighibahin ibu-ibu tetangga pas (Name) ternyata beli cilok sama gerobak plus panci-pancinya.
***
"Ce, golden card-ku dimana?"
DEG!
"Eng, ah, anu, tadi digunting Sae. Katanya gak pantes ada kartu rakyat jelata di rumahnya."
"Oh? Haha, ya udah sih, nanti kupinjemin black card-ku," ucap Reo masih sambil tersenyum friendly, lelaki itu berjalan mendekat ke arah (Name), menempatkan tangannya di pinggang sang kakak dan mencengkramnya kuat, tidak memberikan (Name) sedikit hingga tidak sama sekali ruang untuk memberontak dan menolaknya saat Reo mendekatkan wajah kepada leher (Name). "Tapi... aku meminta lebih dari sebuah ciuman.
"Gak, gak usah, tadi aku udah dijajanin cilok pake black card Sae." (Name) mendorong muka adeknya dan melompat menjauh, tapi Reo yang tanpa disangka memiliki tenaga yang cukup besar makin menekankan jari-jarinya pada bagian lembut pinggul (Name), menahannya di tempat dan membuatnya berjengit. "Ah!"
"I insist."
"GAUSAH WOY!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry my "Sister"
Fanfic"Kalian semua... sebenarnya bukan sodara kandung." Kayak drama-drama Indo*iar, seluruh ruangan berubah menjadi sunyi. Seluruh dunia (Name) serasa ambruk di detik itu juga, hancur dengan suara pecah yang menusuk kayak sound effect figura foto jatoh...