25/03 - Gentar's

251 30 2
                                    

Akhir-akhir ini Supra selalu pulang telat. Kepulangannya paling cepat bahkan melebihi adzan maghrib, sisanya entah jam berapa. Jadi buat dia, rumah yang sudah sepi dan tenang sudah jadi pemandangan buatnya beberapa hari terakhir.

Tapi, hari ini agak berbeda. Ia mendengar suara isakan tertahan. Seperti mati-matian tidak menangis padahal sesenggukan menahan lara.

Bukan dua kakak kembarnya. Keduanya sudah tertidur dengan posisi yang tidak bisa dijelaskan. Terlentang dan menyepak selimut mereka kemana-mana.

Bukan juga Sori yang sekamar dengannya. Adiknya yang ini juga sudah terlelap ditimbun buku-buku pelajarannya.

Dan tentu juga bukan Sopan. Si bungsu sudah tidur dengan damai di sofa ruang tengah. Sepertinya, ia berniat menjaga pintu dan menunggu kepulangan Supra, tapi kebablasan.

Apa Gentar, ya?

Supra mengintip sedikit dari celah pintu kamar para bungsu yang terbuka kecil.

Benar dugaannya.

Adiknya yang suka berbuat rusuh itu sedang menutup mulutnya sendiri, berusaha agar tangisnya tidak lolos keluar dari belah bibirnya. Kalau dilihat dari seberapa bengkak matanya, kemungkinan dia sudah menangis sejak jam tidur malam berdentang.

Cukup lama, ya.

"Ini serius mereka tidak ada yang ingat?" Gentar mengusap brutal jejak-jejak air mata di wajahnya. Setengah kesal, selebihnya marah campur sedih. "Aku ulang tahun loh kemarin. Tapi, mereka semua sibuk. Sampai hari ini pun belum ada yang mengucapkan. Sayang tidak sih sama aku?!"

Supra mengatupkan mulutnya rapat-rapat lalu mundur perlahan menuju kamarnya. Niatnya untuk menegur dan menyapa Gentar luruh seketika. Kalau dia tetap nekat menegur bocah itu, bisa jadi mereka akan ribut besar dan bertengkar.

Ini jelas bukan hal yang bisa dibuat bertengkar. Akan sangat bersalah nanti diri Supra kalau adiknya itu semakin kesal karena merasa dilupakan.

"Mas Supra sudah dengar, ya?"

Supra berjengit kaget. Nyaris saja dia memekik terkejut kalau saja kontrol atas keterkejutannya barusan tidak bagus. Ia memejamkan mata erat-erat berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila akibat kaget, dan segera melotot sebal pada pelaku yang hanya nyengir dari atas kasurnya.

Dia benar-benar harus terbiasa dengan kemunculan dan ucapan Sori yang suka datang tiba-tiba ini.

"Dengar apa?" Ketus Supra. Dia malas melihat Sori yang tatapannya mengekori setiap pergerakannya sekarang.

"Gentar menangis."

Supra mengangguk.

"Aku, Sopan, dan mas yang lain sudah beli kue," Sori menarik senyum lebar jenakanya. Sama sekali tidak tampak kalau ia baru bangun. "Mana mungkin kan kami lupa pada ulang tahun salah satu anggota keluarga? Yang benar saja si Gentar itu."

Supra kembali mengangguk. Tidak menanggapi ocehan Sori dengan ucapannya.

"Ya kan? Mas Supra juga setuju, kan?"

Kali ini Supra mengalihkan pandangannya pada Sori yang menunggu responnya. Mata adiknya itu berkilat jahil.

Tahu sekali Supra kalau adiknya ini sedang memancingnya.

"Aku lupa, serius malah." Supra menyerah mengakui dan Sori tertawa terpingkal-pingkal sambil menepuk pundak sang kakak prihatin.

"Aduhh, padahal Gentar paling menunggu kado dan ucapan dari masnya yang bagai jagoan di matanya ini. Ckckckck, mengecewakan sekali, Mas Supra."

"Ya maaf? Aku sibuk dengan komite siswa dan klub drama, oke?"

Sori mengibaskan tangannya usil, berlagak tidak peduli dengan alasan yang disodorkan Supra.

Selamat Hari Brojol Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang