20/03 - Trio Ori's

170 26 1
                                    

Gempa nyaris tidak pernah marah, dan semua saudaranya tahu itu. Beberapa kali mungkin memang pernah dibuat keki berat karena ulah Taufan atau Blaze yang di luar nalar, tapi selebihnya dia tidak akan marah.

Paling mentok si pelaku kerusuhan kena sikutan tajam Gempa.

Namun, kali ini sepertinya Gempa betulan marah besar.

"Blaze bisa tidak sih kalau diajak bicara baik-baik? Gempa sudah capek sebenarnya kalau berkali-kali negur tapi diindahkan terus. Ini satu dari sekian masalah sepele, tapi Blaze tidak pernah catat di kepala. Kalau bukan punyamu, seenggaknya bilang kalau mau makan. Apa susahnya, sih?!"

Taufan menghentikan kegiatan melipat baju-baju yang sudah kering. Iris safir miliknya bertatapan dengan ruby Halilintar yang mengambil jeda dari sibuknya cumbuan skripsi. Keduanya sepakat dalam diam kalau perseteruan Gempa dan Blaze kali ini memang serius dan harus ditengahi.

Kalau yang menyebut nama sendiri sebagai ganti 'aku' adalah Solar dan Duri, maka itu hal yang lumrah. Lima kakaknya sudah mengerti kalau itu memang kebiasaan keduanya. Namun jika yang menyebut nama sebagai kata ganti 'aku' adalah Gempa, itu artinya si anak nomor tiga sedang marah besar.

Benar-benar marah.

"Kak—"

"Solar dan Duri lanjut saja melipat bajunya," kaki-kaki si bungsu ditepuk pelan Taufan sebelum dia memutuskan untuk bangkit dan berjalan menuju TKP, "biar Hali sama Kakak yang bicara sama Gempa dan Blaze."

Dan benar saja.

Di dapur ada Gempa yang menatap tajam pada Blaze. Gurat muka ramah yang biasa ditampilkan si bungsu dari kembar tiga itu, saat ini lenyap tak bersisa. Mungkin memang mukanya tidak seseram Halilintar—yang meskipun sedang tidak marah saja sudah bikin Duri bergetar, tapi Gempa yang pasang muka datar ini berkali-kali lebih mengerikan dari mimpi buruk ketika demam tinggi.

Di depannya ada Blaze yang duduk bersimpuh dan menunduk, sedangkan Ice berdiri dalam hening di belakang penyebab amarah sang kakak. Tampak sekali kalau ia ingin menyuarakan sesuatu, entah protes, entah keberatan, atau entah apa. Tapi, sepertinya dia memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat, melihat Gempa tengah meliriknya tajam.

"Kenapa ini, Gempa?" Halilintar dari balik tubuh Taufan membuka suara. Nadanya biasa, tapi karena suasana antara tiga adiknya sedang tegang, suara Halilintar yang terlampau datar itu cuma bikin suasana makin tegang saja. "Blaze? Ice? Ada yang mau menjelaskan?"

Ketiganya diam. Sama-sama tidak ada yang mau menjelaskan keadaan sebenarnya. Bahkan, Gempa malah memilih memalingkan wajahnya dari dua kembarannya.

Halilintar mendengus kasar. Ia tidak minat main diam-diam saja begini, urusanya tidak akan selesai, dan keributannya bakal akan berlanjut di kemudian waktu. Karena, Gempa tipe saudara yang seperti itu. Akan diungkitnya terus masalah tersebut nantinya, sampai mampus sudah pelaku yang berhasil membuatnya marah ini. "Aku pikir, kita semua sudah cukup dewasa untuk langsung membicarakan—"

"Blaze makan kue punya Gempa."

Manik merah Halilintar bergulir pada Blaze yang mengangguk kecil takut-takut. Mengaku dengan cepat kalau dia yang bersalah kali ini. Di meja makan tampak piring putih dengan noda cokelat masih tersisa, Halilintar bergumam pelan, itu pasti barang bukti yang tidak sempat dilenyapkan Blaze.

"Na—nanti aku ganti, Kak," Blaze memohon lirih dan sedikit terbata. Ia tampak sekuat tenaga beberapakali menelan ludah untuk menahan air matanya jatuh. "Biar aku belikan lagi di kafe langganan Kakak—"

"Itu buatan Gempa sendiri. Kamu mau ganti gimana?"

Bibir Blaze sekali lagi tertutup rapat-rapat. Dipotong dengan kalimat seperti itu, sekakmat buat keadaan Blaze sekarang. Artinya, Gempa tidak membiarkan adiknya yang satu ini membela diri karena sudah jelas sekali kesalahannya.

Selamat Hari Brojol Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang