5

4.4K 454 5
                                    

Di balik sebuah kebahagiaan pasti akan ada kepedihan mengikuti.

Hari itu terbukti, Jena tak pernah mengira jika ditinggalkan akan sesakit ini rasanya. Padahal sejak awal memang Jena berniat untuk membuat Mikael bahagia sebelum keluarganya datang menjemput, tapi kenapa jadi seperti ini?

Hari dimana ia bertanya pada Mikael, "lalu... bagaimana jika kau yang meninggalkan ku duluan El?"

Ternyata itu datang hari ini, di mana Mikael benar-benar meninggalkanya bahkan tanpa ucapan selamat tinggal. Itu lebih jahat dari sekedar meninggalkan.

Pagi hari seperti biasa Jena pergi ke toko bunga milik bibi Poppy, berangkat pagi dan pulang di siang hari. Sudah senang pulang membawa dua cup ice cream vanilla Jena dikejutkan dengan seorang pria ber jas hitam dengan hairspray terpasang memberikan sebuah totebag besar padanya.

Pria itu berkata, "terima kasih telah menjadi teman tuan muda selama di sini."

Jena hanya dapat mematung mendengarnya, ia hanya bisa balas tersenyum. "Aku harap El bahagia bersama keluarganya." Itulah harapan Jena saat itu.

Melihat banyakanya iringan mobil keluar dari pekarangan rumah membuat Jena sadar jika tokoh Jena sudah habis sampai di sini. Segala hal tentang dirinya dan Mikael berbeda, bagai langit dan bumi,  semesta pun mengejek perbedaan kasta keduanya.

"Selamat tinggal, El."

Dan di hari perpisahan dirinya dengan Mikael bunga-bunga bermekaran dengan indahnya, musim semi hari itu terasa menyedihkan baginya. Dua cup ice cream meleleh tanpa di sentuh siapapun dan tangis Jena menjadi bukti bahwa ia membenci dirinya yang sudah terlanjur menyayangi Mikael.

***

17 tahun kemudian.

Panas menyengat dengan ganas keringat yang mengalir terasa perih menyentuh kulitnya yang mulai memerah, tangannya terlihat kasar memegang stang sepeda tua itu dengan kaki mengayuh dengan cepat agar bisa sampai tepat waktu. Rambut lurus panjang terikatnya terlihat lepek karena keringatnya, saat akan berbelok di tikungan sebuah mobil hitam tiba-tiba muncul tak tau waktu dan menabrak sepeda miliknya.

Bruk!!

Cukup kencang hingga membuat dirinya terjatuh ditimpa sepeda.

Jena, meringis kala tubuhnya terhempas dan menabrak aspal. Berusaha berdiri meski tubuhnya lemas karena terkejut, tak dapat marah meski hati meronta memaki.

Melihat kilapan mobil yang menabraknya sudah pasti si pemilik bukan sembarang orang, ingin unjuk rasa meminta pertanggung jawaban dan ganti rugi sudah pasti akan kalah sebelum memulai.

Jena memilih menepi dengan sepedanya dan memberikan jalan pada mobil itu hingga berlalu. Jena menghela napas pelan kepalanya menunduk melihat kedua lututnya yang terluka, siku dan telapak tangannya pun tak jauh berbeda dengan keadaan lututnya.

"Ah! Aku terlambat!"

Dan benar saja, ia dimarahi.

"Tidak ada toleransi lagi untuk mu, sudah ku katakan bukan hari itu."

Ia menunduk seraya mengangguk, "maaf pak "

"Kau bahkan datang dengan keadaan mengerikan seperti ini, sudahlah mulai besok jangan datang ke tempat ku. Sisa pembayarannya akan ku kirimkan pada mu!"

Jena melotot berusaha menjelaskan alasan mengapa dirinya terlambat pada boss nya. Lagi-lagi Jena harus sadar diri, "baik pak terima kasih."

Keluar dengan wajah lesu Jena berusaha untuk tak menangis, harus bagaimana dan kemana lagi ia mencari pekerjaan?

Sementara kebutuhannya menggunung layaknya sampah bekas, "kau tidak boleh menyerah Jena!"

Keesokan paginya Jena sudah sibuk menggosok mobil dengan pakaian setengah basah. Badannya sedikit menggigil saat air dari selang menyentuh kulitnya, cuaca pagi ini cukup dingin untuk memulai hari dengan bermain air.

Pekerjaan part time lainnya adalah bekerja di tempat cuci mobil. Tak berat tetapi tak jarang beberapa kali pelanggan yang datang bukan untuk mencuci mobil melainkan untuk menggodanya, ataupun mengajak dirinya 'bermain'.

Tak aneh memang karena paras cantik Jena bisa menarik banyak pria untung saja ia masih waras tidak memanfaatkan kecantikanya untuk mendapatkan uang.

Tokoh sampingan Jena saja di buat secantik ini apalagi tokoh utamanya?

Seringkali Jena merasa bersalah membuat tubuh ini harus bekerja keras dan membuat kulit mulusnya kusam, apalagi telapak tangannya yang kasar dan kapalan.

"Ini bayaran mu."

Mata Jena berbinar, "terima kasih pak."

Jena pergi dengan membawa uang gajinya dengan perasaan suka cita.

Kehidupannya setelah panti asuhan di tutup 10 tahun yang lalu cukup membuat sulit, luntang-lantung di jalanan hingga akhirnya ia menemukan tempat berteduh yang tak dapat dikatakan layak.

Bekerja di usia muda hingga sekarang membuat Jena benar-benar menghargai kehidupan keduanya ini. Cukup senang karena tidak harus berurusan dengan alur cerita karena kisahnya memang telah usai.

"Lebih baik aku belanja dengan uang ini dan menabung untuk sisanya."

Tbc.

Unhealing Wound [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang