•••
Aku punya keluh kesah yang perlu kujabarkan. Mengenai Gadis pelik yang kebetulan menjadi temanku. Kebetulan tinggal disatu atap Asrama. Kebetulan menjadi lawanku. Kebetulan menjadi terlalu dekat. Entahlah, ada berapa lagi kebetulan yang akan melekat padanya dan padaku.
Aku baru sampai Korea, tiga tahun yang lalu, dan tak punya siapapun. Ibuku berada dibelahan bumi bagian utara—Hawaii, adalah tempat dimana ia memutuskan untuk menghabiskan uang disisa umurnya yang masih panjang. Sementara Ayahku berada dibelahan bumi bagian selatan—Australia, adalah negara yang ia pilih untuk mengeruk uang. Aku akhirnya kembali ke negara asalku setelah cukup jenuh berada di negeri Paman Sam.
Perguruan tinggi tampak selalu begitu penting, seperti tolak ukur untuk menentukan masa depan seseorang. Aku memang terlihat sedikit kesepian. Namun, cukup beruntung memiliki keluarga yang cukup banyak uang. Aku memilih tinggal di Asrama—walau sekarang sedikit menyesal. Aku mengambil jurusan kedokteran, sedikit tak cocok dengan kepribadianku kalau Ibu bilang. Aku cukup ambisius, tidak suka diganggu, dibuat repot, apalagi dijejali situasi pelik yang remeh dan menjengkelkan. Namun Jennie Kim tampaknya piawai dalam hal itu. Ia adalah gumpalan masalah pelik yang selalu berhasil merangkak masuk dalam kehidupanku.
Bertemu dengan Jennie Kim pada awalnya terasa canggung. Aku pikir, aku membuatnya tak nyaman—Ia cenderung bicara hati-hati dan terasa dingin. Aku cukup terintimidasi oleh mata kucingnya yang tampak galak saat menatap. Hari kedua, aku membeli kue dengan lilin diatasnya—aku bilang pada Jennie bahwa ini untuk perayaan teman satu kamar kami. Dan tampaknya itu berhasil, ia mulai mencair dan kami membeli beberapa bir juga ayam goreng setelahnya.
Kami melakukan wawancara singkat mengenai sekolah asal, jurusan yang diambil dan mengapa memilih itu. Aku selalu penasaran dari mana aroma menyengat dan menusuk yang selalu muncul tiap aku berada didekat Jennie. Kesimpulannya adalah, ia menggunakan colone dengan cara yang berlebihan. Dan itu menggagguku, jadilah aku membelikannya parfum beraroma lembut dengan alibi hadiah pertemanan kami.
Seminggu tinggal bersama, aku jadi hapal kebiasaanya. Jennie menyukai pasta, tapi tidak suka cuci piring. Jennie memiliki Americano yang hampir menemaninya setiap pagi. Ia tidak suka mencuci baju. Dan sering melupakan jadwal makan. Terkadang ia terlihat antusias saat aku pulang. Aku selalu memberinya susu pisang, untuk memulai pembicaraan kami. Aku juga membeli beberapa makanan untuknya dengan alibi tak enak hati jika makan seorang diri.
Berbanding terbalik denganku. Aku adalah seorang yang bahkan tak tahan jika melihat lukisan didinding miring. Aku cenderung terganggu dengan susunan warna pakaian yang berantakan. Apalagi jika itu tumpukan pakaian yang dibuat Jennie—sudah pasti kepalaku pusing. Dan karena aku tidak terlalu suka dijejali banyak petuah, aku cenderung tidak menjejali orang lain dengan banyak petuah. Aku lebih suka membantunya memasukan pakaiannya ke mesin cuci. Memutarnya lantas melipatnya. Ini seperti kegemaran aneh yang bagus kalau kata Ayah.
Kami menghabiskan waktu cukup sering—sampai pada titik, Jennie akan menjejaliku banyak pesan jika aku terlambat pulang. Terkadang, ia menanyaiku beberapa pertanyaan yang malas kujawab, perihal dari mana? Bersama siapa? Apa yang ku lakukan hingga lama sekali? Lantas merajuk tentang hal-hal kecil yang menurutku cukup sepele. Ia mulai sering merajuk dan itu menyebalkan—Aku cenderung tidak mau sulit. Jadi aku cenderung mengiyakan apapun, dan sepertinya Jennie menikmati itu.. Aku mengikuti hampir semua yang ia inginkan. Entah itu cincin pasangan, baju pasangan, gelas pasangan. Sesekali Jennie membuatku tidur di sampingnya.
YOU ARE READING
Wanna Play? {Jenlisa}
FanfictionAku sedang berada dititik terendah. Tiba-tiba aku berada dibagian sisi paling buruk dalam ingatan Lalisa. Aku punya kecenderungan pelik yang sulit berbagi. Entah itu berupa cerita, apalagi seseorang. Perihal aku menyukai Lisa itu mutlak. Selain itu...