8

661 173 10
                                    

"Apa harus di sini?" tanya Luna saat di lobi rumah sakit. Dia baru teringat ibu Sean adalah salah satu dokter kandungan di rumah sakit ini. Bahkan dokter Maria pernah memeriksanya.

"Bukankah biasanya kamu cek kehamilan di sini?"

"Tapi..."

"Tenang saja, mamaku tidak akan memberimu cek."

"Jadi dokter Maria yang memeriksa?" Luna menarik lengan Sean.

"Mama memaksa. Tapi bisa saja kita menggantinya."

"Tapi kita bisa dapat nomor urut terakhir," lanjut Sean yang sebenarnya tidak ingin mengganti dokter. Ini kesempatannya untuk mempertemukan Luna dengan mamanya.

Luna menggigit bibir bawahnya, bimbang.

"Percayalah. Mama sangat menerimamu, bahkan dia ingin kamu menjadi menantunya."

Ucapan Sean justru membuatnya makin ketakutan. Menantu? Dia bahkan belum pernah bertemu orang tua Deri apalagi membahas pernikahan.

"Ayolah. Mama sudah menunggu." Sean menarik tangan Luna tanpa ragu.

Luna mengikuti langkah Sean dengan sesekali menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering dan tangannya berkeringat.

Tiba saatnya namanya dipanggil Luna berdebar kencang. Tensinya bahkan terbilang tinggi 140/80. Dia masuk dengan kepala menunduk. Tidak seperti Sean yang langsung menyapa dokter Maria.

"Ma."

"Apa kabar Luna?" sapa Maria dengan senyuman lebar dan mengabaikan panggilan Sean.

"Eh, baik, Dok."

"Tidak ada keluhan?"

"Tidak, Dok."

"Tensinya sedikit tinggi tapi tidak masalah. Mungkin karena tegang. Coba rileks, tarik napas panjang dan hembuskan perlahan."

Luna mengikuti instruksi berusahan menenangkan diri. Dia masih tidak berani menatap dokter Maria.

"Silakan berbaring."

Untuk kesekian kali Luna bahagia tiba-tiba hanya dengan mendengar denyut jantung janin dan dokter mengatakan bahwa janinnya sehat dan tumbuh normal.

Bagi Sean ini pertama kalinya. Dia takjub, senang, dan merasa luar biasa. Ucapan dokter yang memvonisnya sulit memiliki keturunan sudah tidak berarti lagi. Jika Tuhan sudah menghendaki, apapun bisa terjadi. "Terima kasih Tuhan," ucap Sean dalam hati dengan rasa syukur tidak terkira.

"Makasih, ya, Ma," ucap Sean.

Maria mengangguk lalu meminta asisten perawatnya keluar ruangan.

"Besok malam, makan malamlah di rumah."

"Maaf," ucap Luna.

"Kenapa? Kamu tidak bisa?"

"Bukan, bukan. Maaf untuk keadaan saat ini."

"Harusnya aku yang minta maaf, tidak mendidik Sean dengan baik. Yang terpenting sekarang jaga kesehatanmu."

"Dan kamu," Maria menatap Sean. "Jadilah pria yang bertanggung jawab."

"Aku sangat bertanggung jawab. Aku siap menikah kapan saja, Ma."

Melihat ekspresi Luna, Maria memberikan pelototan tajam. "Buat Luna nyaman denganmu, baru ajak Luna menikah. Kamu pikir Luna mau menikah denganmu?" ucap Maria meski ada di hadapan Luna.

Wanita yang tengah hamil itu tidak tahu harus merespon bagaimana. Bukan obrolan seperti ini yang ada dalam bayangannya. Dia pikir dokter Maria akan memasang wajah marah dan membencinya. Jadi respon apa yang sebaiknya dia berikan?

Another Chance for LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang