10

975 186 23
                                    

"Kamu kenapa?" tanya Sean dengan napas yang memburu efek berlari dari ruangannya.

"Perut saya nyeri."

Tanpa bertanya lagi, Sean mengangkat Luna diikuti Haidar. Dia sangat khawatir, takut kehilangan calon anaknya. Dia tidak memperhatikan orang-orang yang kaget dengan kehadirannya sembari membopong Luna.

Luna tidak mempertimbangkan banyak hal. Yang ada dalam pikirannya adalah segera ada yang menolongnya.

Setelah merasa lebih baik barulah dia menyadari apa yang sudah dia lakukan. Kehebohan apa yang sudah dia perbuat. Dia menjerit di atas ranjang rumah sakit hingga Sean kaget terperanjat.

"Ada apa?"

"Apa yang sudah saya lakukan?"

"Memang kamu melakukan apa?"

Luna mengusap wajahnya. Dia bersyukur janinnya baik-baik saja hanya perutnya sedikit memar karena menabrak ujung meja. Tapi bagaimana dia menghadapi orang-orang di kantor?

"Saya mau resign," ucap Luna dengan pandangan menerawang jauh.

"Tidak masalah. Aku sangat sanggup menghidupimu."

"Saya tidak punya muka lagi untuk ke kantor." Luna mengusap wajahnya lagi, putus asa.

"Kenapa?"

"Orang-orang pasti sudah tahu saya hamil."

"Soal itu aku belum bisa memastikannya. Tapi orang-orang pasti membicarakan kita," ucap Sean dengan senyum mengembang karena bahagia. Orang-orang akhirnya menggosipkan Luna dengannya bukan Haidar lagi. "Aku akan meminta Haidar mengurusnya jadi kamu bisa datang ke kantor seperti biasanya. Resign pun harus tetap mengurusnya ke kantor, bukan? Tidak bisa keluar begitu saja. Kecuali kamu istriku."

Ingin sekali Luna menjitak kepala bosnya. Tapi dia hanya bisa menghela napas. "Apa saya bisa langsung pulang?"

"Menurutmu?" tanya balik Sean.

Luna menggeleng pelan menyadari dia sudah dipindah ke ruang rawat inap. Tidak mungkin dia bisa langsung pulang.

"Jangan lagi membuatku nyaris mati di tempat karena khawatir." Sean menyentil kening Luna.

"Maaf."

"Istirahatlah. Maaf aku harus pergi ada meeting sore ini dengan Mr. Paul. Tidak bisa reschedule karena dia akan kembali ke Inggris besok pagi. Kamu mau ditemani..."

"Tidak perlu, Pak. Saya sendiri saja. Pak Sean meeting saja. Terima kasih sudah menolong saya," potong Luna.

Sentilan kembali mendarat di kening Luna. "Sekali lagi kamu memanggilku Pak, aku akan memaksamu menikah denganku biar memanggilku Sayang."

Bibir Luna langsung terkatup rapat. Dia hanya mengangguk seperti robot.

"Aku pergi dulu." Sean mengusap puncak kepala Luna. "Aku segera kembali, Sayang," ledek Sean lalu terkekeh melihat ekspresi Luna.

***

Luna mulai bosan sendirian di kamar rumah sakit. Dia juga sedih sering sekali dirawat padahal dia sudah berusaha sebaik mungkin menjaga diri.

Luna mengelus perutnya yang membuncit. Sangat bersyukur janin dan dirinya baik-baik saja. Dia merasa bersalah masih tidak berani terus terang dengan kehamilannya seolah tidak mengakui kehadiran janin itu. Padahal janin dalam kandungannya tidak bersalah dan selalu kuat. Mata Luna merebak kemerahan dan penuh air mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Another Chance for LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang