Cerita ini hanya karangan, fiksi dan hasil dari haluan penulis tentang kebudayaan timur tengah. Apabila ada kesalahan penulis dalam budaya timur tengah, silahkan diluruskan dengan bijak. Plagiat? Menjauh!.
.
.
Gurun Gharham 1455 Masehi abad-15Sang surya bersinar gagah di langit biru tanpa awan. Sinarnya yang terang dan menyengat mungkin bisa melelehkan bongkahan besar es yang berada di kutub utara. Matahari hari ini, seakan bisa memanggang bumi tanpa memperdulikan manusia-manusia di dalamnya.
Luasnya gurun pasir berwarna coklat muda terhampar seperti samudra tak berujung. Panas yang langsung menerpa gurun seakan bisa memasak telur yang dikubur dalam pasir. Rasanya pengap, panas dan tak bertenaga. Unta-unta para saudagar yang melintasi gurun untuk berdagang di negeri seberang pun terlihat kelelahan.
Seorang pemuda dengan sorban yang menutup sebagian wajah hingga yang terlihat hanya kedua bola mata hitam pekatnya terlihat mengangkat tangan, mencoba menghalau sinar terik matahari yang menerpa langsung wajahnya. Unta yang ia tunggangi berjalan lambat akibat panasnya gurun.
Pria itu berbalik, menatap dua unta lagi di belakang sana.
"Apa kau butuh sesuatu rajaku?" tanya seorang laki-laki berambut ikal sebahu. Pria itu memiliki wajah tegas dengan kulit coklat tua. Tubuhnya besar dan kekar, panas matahari tak membuatnya takut untuk terpanggang hingga dia hanya memakai gaun tipis. Panas hari ini bukan apa-apa bagi Sulaiman. Dia sudah terbiasa dengan panas seperti ini.
Mengingat dirinya adalah seorang 'pedang kanan' atau kepercayaan raja maka sudah sepantasnya Sulaiman sering bekerja di bawah sinar matahari.Berbeda dengan pemuda bersorban di depan sana. Pria itu masih menghalau matahari, jujur. Wajahnya sekarang sudah terasa pedas akibat panas. "Aku tidak tau, jika hari ini akan sepenas ini," ucapnya menatap gelombang panas yang benar-benar terlihat jelas di depan mata.
Yah. Bulan ini telah memasuki waktu kemarau jadi wajar saja jika gurun dan matahari bertindak seperti tak bersahabat dengan manusia. Hal seperti ini juga sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat timur tengah terlebih lagi pada wilayah bagian utara yang hanya diliputi kebanyakan gurun.
Burung-burung pemakan bangkai tampak terbang bebas di angkasa, mengelilingi langit berkali-kali menunggu budak yang mati kelaparan akibat dibuang oleh tuan mereka di tengah gurun pasir yang tandus untuk dijadikan santapan. Sudah menjadi tradisi bagi negeri Aizar untuk membuang budak yang tidak dapat bekerja. Korban yang telah banyak dibuang biasanya budak anak-anak dan orang tua lanjut usia.
Tiga pria tadi yang sedang dalam perjalana ke negeri Aizar tak sengaja menatap seorang anak perempuan tergeletak tak berdayah di tengah panasnya gurun. Hal itu membuat ketiganya berhenti.
Pria yang paling belakang turun lalu menghampiri anak yang tak sadarkan diri itu. "Yang mulia, dia masih hidup," ucapnya cepat dengan raut khawatir.
Berbeda dengan Sulaiman yang memiliki perawakan keras. Pria itu terlihat lembut, wajahnya yang putih berubah menjadi merah akibat perjalanan hampir setengah bulan di tengah terik matahari. Tubuh tingginya terbungkus baju yang dipadukan dengan jubah putih timur tengah, begitupun dengan sorban di kepalanya yang memiliki selendang di sisi kanan lalu ujungnya dililit longgar ke bahu kiri. Dia terlihat rapi, dan wajah tampanya juga terlihat tidak dapat membohongi mata. Siapapun yang melihatnya pasti dapat menebak bahwa dia pemuda yang pintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blade From Kairi (Islamic Kingdom)
Historical FictionZainal, Seorang raja yang cerdas dan bijaksana mengalami masa putus asa dimana Kerajaan yang telah ia lindungi selama hidupnya mendapat ancaman dari negri seberang untuk memulai peperengan. di tengah kacau balaunya pikiran Zainal, para penasehatnya...