Dia

25 2 0
                                    

"Surat dari kakak mu lagi?" Suara itu membuat Jungkook terkejut dan langsung memberikan senyuman terbaiknya ketika ia sadar siapa yang berbicara. Jimin, teman satu asramanya.

"Ya... Seperti biasa." Jungkook menunjukkan sebuah surat bewarna pink yang selalu ia terima disetiap bulannya, dengan warna yang sama pula. Entah sang kakak begitu menyukai warna nya, atau sudah terlanjur membeli stok banyak dengan warna itu saja, Jungkook tidak begitu mengerti.

Jimin tersenyum miris melihatnya. Temannya ini sudah nyaris satu tahun tidak pulang ke rumah, dan hanya selalu mendapatkan sebuah surat dari sang kakak yang isinya selalu hampir sama, mengatakan rindu, ingin bertemu, namun tidak dalam waktu dekat, dan yang paling tidak ia mengerti, mengapa Jungkook selalu tampak antusias meski isi dari surat itu selalu mengecewakan.

"Jimin.. lihat.." Jungkook menunjuk pada kalimat yang entah bertuliskan apa, Jimin tidak tau. "Kata kakak dia baru saja dapat hadiah dari mama papa karena lulus dengan prestasi yang membanggakan di kampusnya. Woaaaaa... Kakak ku memang hebat..." Jungkook berujar bangga. Wajahnya begitu berseri dengan bola mata berbinar-binar layaknya langit malam dengan sejuta bintang didalamnya.

Jungkook memeluk erat surat itu, berputar-putar sambil sesekali melompat kecil karena begitu bahagia atas kehebatan sang kakak. "Kakak juga bilang ia merindukan ku.. Kau tau Jim, dia juga.."

Jimin memotong,"Ingin bertemu dengan mu namun tidak sekarang karena tengah sibuk dengan dunianya. Iya, aku tau. Sangat tau." Ada nada tidak suka yang terdengar dari kalimat itu. Bukan... Jimin bukan bermaksud jahat. Jungkook adalah teman satu kamar yang sudah dianggapnya sebagai saudara, sebagai adiknya.

Hidup bersama dalam satu kamar dalam kurun satu tahun ini, cukup membuat Jimin mengerti. Bagaimana besarnya cinta Jungkook pada keluarganya. Bagaimana Jungkook selalu menjadikan sang kakak sebagai idola dan panutannya. Dan bagaimana.... Tidak berbalasnya rasa itu.

Masih tidak menghilangkan senyum manisnya, Jungkook mendekati Jimin. Duduk disampingnya yang saat itu sedang bersantai diatas kasurnya. "Kau pasti iri pada ku kan..." Jungkook menatap genit pada Jimin sambil memberikan colekan kecil di badan pemuda itu. "Secara kau kan tidak pernah dapat surat seperti aku.." lanjutnya lagi disertai tawa kecil yang menggemaskan.

Oh, Jungkook yang malang. Ya.. Jimin akui ia memang tidak pernah mendapatkan surat, sesering Jungkook mendapatkan surat disetiap bulannya. Namun Jimin selalu mendapatkan kunjungan entah dari keluarganya, keluarga besarnya, dan bahkan sesekali ia akan pulang kerumah jika mendapatkan libur panjang. Sesuatu yang tidak Jungkook dapatkan, namun tidak akan ia bahas kali ini. Karena itu cukup menyakitkan.

"Oh baiklah... Baiklah... Aku kalah." Jimin berucap jengah, lebih tepatnya berpura-pura jengah.

"Hihihi..." Lagi-lagi tawa imut itu terdengar sangat bahagia, tapi tidak bagi Jimin. Tawa itu, terdengar sangat menyedihkan.

****

Tengah malam, disaat jarum jam menunjuk ke angka dua dan hampir seluruh penghuni asrama sedang tertidur lelap, suara dengungan kecil yang berasal dari kasur disebelahnya membangunkan Jimin dari tidur lelapnya.

"Mama......"

"Ma...."

"Hiks... Pa.."

"Kak... Hiks.. Kangen"

Meski dengan suara lirih, Jimin mendengar dengan jelas kalimat itu. Kalimat kerinduan. Dan Jimin tidak tau harus berbuat apa. Hal ini sudah terlalu sering terjadi, tepatnya setelah Jungkook menerima surat dari sang kakak dan setelah itu selama seminggu penuh berturut-turut ia akan berbicara dalam tidurnya. Sesuatu yang selalu Jimin rahasiakan dari Jungkook saat temannya itu bertanya alasan mengapa wajahnya terlihat lelah seperti kurang tidur di pagi harinya.

Di tengah dinginnya larut malam, Jimin beranjak dari tempat tidurnya. Menatap Jungkook yang lagi-lagi berucap rindu dalam tidurnya. Mengelus sayang rambut si kecil yang gelisah dalam tidurnya. "Tidurlah Jung... Tidurlah..." Ujarnya pelan, berharap esok akan menjadi hari yang baik bagi pemuda malang ini.

****

Jimin lagi-lagi mengusap kepalanya frustasi. Menatap kearah penjaga asrama yang sedang berusaha menghubungi seseorang namun tidak kunjung mendapat jawaban meski sudah kesekian kalinya mencoba.
"Pak.... Coba telpon sekali lagi." Jimin memohon dengan putus asa.

Ia juga tidak mengerti. Semalam keadaan teman satu kamarnya itu baik-baik saja. Bahkan masih lincah bermain bola bersama teman satu klub nya dan tertawa ceria, mengejek Jimin yang kala itu tidak sengaja ketahuan guru saat sedang melakukan salah satu kejahilannya. Semua baik-baik saja... Sungguh... Jungkook masih makan dengan porsi jumbo nya dan bahkan masih sempat berebut sebuah sosis dengan Jimin saat serapan tadi pagi. Semua baik-baik saja...

Hingga satu sekolah dibuat gempar. Kala salah satu siswa menemukan Jungkook.... Dengan keadaan kepala yang mengeluarkan banyak darah dan terbaring dibawah tangga dengan mengenaskan. Membuat sekolah gempar dan jam istirahat ditiadakan agar para murid tidak keluar dari kelas dan menangis ketakutan ketika melihat tempat kejadian perkara.

Semua begitu mengejutkan bagi Jimin. Begitu menakutkan dan begitu menyedihkan. Teman satu kamarnya yang saat ini telah dibawa ke rumah sakit karena keadaannya yang terlalu parah. Tidak ada yang tau bagaimana kejadiannya, tidak ada kamera pengawas dan kala itu sedang dalam jam belajar. Hingga tidak ada satupun siswa yang bisa dijadikan saksi mata. Hanya siswa yang pertama kali menemukan Jungkook, yang bisa ditanya. Tapi itupun tidak menghasilkan apapun.

Jimin lagi-lagi menatap pengurus asrama yang menggeleng lelah. Menyerah karena lagi-lagi tidak ada jawaban dari sambungan telepon. Baik itu ayahnya, ibunya, bahkan kakaknya Jungkook. Tidak ada satupun yang menjawab.... Sialan.. Jimin sangat murka. Rasanya ingin mencaci maki mereka...

"Lebih baik kau segera ke rumah sakit Jim. Jungkook pasti membutuhkan mu disana." Ujar pengawas itu menenangkan. Jimin tampak sangat kacau di matanya. Seragamnya juga tampak bercak darah karena ikut membantu menggotong temannya itu ke ambulance sebelum akhirnya menuju ruang pengawas untuk meminta agar menelpon keluarga Jungkook.

Maka dengan tergesa-gesa Jimin pamit pada sang pengawas, berlari menuju gerbang sekolah sebelum akhirnya bertemu salah seorang guru yang hendak pergi ke rumah sakit dimana Jungkook dibawa, dan diajak pergi bersama agar lebih menghemat waktu.

Disepanjang jalan, entah kenapa terasa begitu lama. Satu menit yang berlalu terasa bagai satu jam, bahkan lantunan lagu yang terdengar dari radio mobil tidak bisa mengalihkan kekhawatiran Jimin pada temannya itu.

Dan....

Ketika ia tiba di rumah sakit.....

Semua terasa semakin....

Menyedihkan....

Karena disana... Ada keluarga Jungkook disana. Ayahnya, ibu nya, dan sang kakak... Tampak bercengkrama hangat, tanpa ada kecemasan meski salah satu keluarga mereka sedang berjuang didalam ruangan sana.

Jimin melihatnya.

Melihat bagaimana bahagianya keluarga itu..

Bahkan...

Ketika dokter telah selesai dengan tugasnya, menemui keluarga itu dengan penuh ucapan bela sungkawa yang sangat besar... Keluarga itu hanya tampak mengangguk mengerti dan berlalu untuk mengurus administrasi selanjutnya. Tanpa adanya kesedihan.....

Meninggalkan Jimin yang meraung dalam tangisannya dalam dekapan sang guru..

Karena temannya itu....

Jungkook nya...

Memilih menyerah dengan kehidupannya...

End

Once Upon Time's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang