Nostalgia

28 5 1
                                        

Dari kursi penonton, Sabrina duduk dengan serius. Ada susu strawberry di tangannya, sedangkan mulutnya masih penuh dengan marshmellow. Mata Sabrina masih terkunci pada salah satu pemain disana. Sindhu tengah menggenggam pemukul kayu dengan konsentrasi penuh, lalu saat bola dilayangkan ke hadapannya, dalam sekali pukul bola itu melayang jauh. Sindhu segera berlari secepat mungkin menuju base 1, bersamaan dengan sorak sorai penonton yang menghapus ketegangan. Saat itu juga Sabrina berdiri dan melonjak lonjak kegirangan dari atas sana.

Dira tertawa geli. "Sab... Sab. Itu kunyah dulu kek yang di mulut. Heran."

Sabrina menggumam dengan mulut penuhnya sambil mengunyah benda kenyal itu cepat cepat. Gadis itu kembali duduk, namun wajahnya yang sumringah sama sekali tidak berhenti melengkungkan senyum.

"Astaga. Tobat gue. Gini ya yang namanya orang jatuh cinta.  Mabok." Omel Dira lagi.

Tubuh Sabrina merapat ke gadis itu sambil membisikkan kalimat yang sudah sangat ia hafal itu. "Nanti istirahat ke kantinnya lewat IPS lagi ya? Please.." rengek Sasa.

Dira hanya memutar bola matanya malas tapi tetap saja ia menyanggupi permintaan itu. "Sebentar aja tapi ya. Gue males ketemu Naufal.

"Yes!" Gumam Sabrina.

Dira melirik lagi ke arah gadis yang kini menghirup susu strawberry nya itu. Sedikit merasa aneh dan bertanya-tanya sebenarnya apa status hubungan antara Sabrina dan Sindhu itu. Karena kalau yang ia lihat, Sabrina jelas terlihat lebih antusias, lebih bersemangat, lebih bucin ketimbang Sindhu.

"Lo udah jadian belum sih?" Tanya Dira penasaran. Sabrina hanya menggeleng.

"Hadeh, nggak ada kemajuan juga."

"Ya gimana. Masa gue yang nembak?" Ujarnya.

"Lo yakin Sindhu suka elo juga nggak? Atau Lo nya yang kegeeran aja selama ini?"

Sabrina diam.

"Gue kasih saran aja nih ya. Sebenernya yang naksir Lo kan banyak Sab. Tinggal pilih aja yang paling ganteng, atau yang paling atletis, yang kaya raya juga ada. Kenapa harus Sindhu sih?" Dira sampai menyebutkan beberapa orang yang sedang mengejar Sabrina dan gadis itu tolak belakangan ini. Meski tidak menyebutkan nama, tapi Sabrina tentu tau siapa saja yang ia maksud.

"Ya gue nggak tau lah. Tanya aja sama hati gue nih, kenapa maunya sama dia?"

"Anjir najis banget bahasa Lo." Ujar Dira sambil terkekeh.

Ibaratnya, mungkin satu kelas, atau hampir satu sekolah pun tau jika Sabrina naksir berat sama Sindhu. Entah Sabrina yang terlalu mudah ditebak, atau karena pesan berantai dari orang ke orang yang berawal dari cerita heboh gadis itu tentang Sindhu. Setiap hari. Hampir tidak ada satu hari pun Sabrina tidak bercerita tentang lelaki itu.

*****

Kali ini Sabrina sengaja ke kantin setelah lima belas menit bel berbunyi. Harapannya adalah agar bertepatan dengan anak anak kelas sebelas IPS 4 yang keluar dari kelasnya. Karena ia tau,  jam pertama kelas Sindhu adalah matematika, ia tau pak Heri akan lama keluar hingga melewati bel istirahat. Sebegitu rincinya Sabrina mengatur itu semua hanya untuk sebuah pertemuan saling memandang dan melempar senyum dari jauh.

Rencananya berhasil. Sabrina dan Dira berjalan pelan pelan menuju kantin melewati kelas Sindhu yang baru saja selesai dari pelajaran matematika. Sindhu terlihat duduk di depan bersamaan dengan Haikal dan Jodi. Lalu bisa ia lihat disana Haikal menyentuh lengan Sindhu dan menunjuk nunjuk dirinya dari kejauhan, Sabrina tau Haikal sedang memberitahu Sindhu keberadaan dirinya.

Sindhu tersenyum ke arahnya, sambil melambaikan tangan. Biasanya hanya sampai situ. Tapi kali ini lelaki itu bangkit dari duduknya, terlihat masuk sebentar ke kelas lalu berlari ke arahnya. Ke arah Sabrina dan Dira berdiri sekarang.

Sindhu tergopoh gopoh membawa satu paper bag berwarna pink mentereng dan menyodorkannya begitu sampai dan posisi mereka berhadapan.

"Sori ya telat. Ini kado yang gue janjiin ke elo."

Sabrina tersenyum malu malu sambil menerima bingkisan itu dan membuka isinya.

"Oh ya, waktu gue tanya Lo suka warna apa kemarin-- sebenarnya gue udah beli kado, tapi bukan warna yang Lo suka."

Sabrina membuka pengait paper bag itu dan menemukan sebuah syal berwarna ungu di dalamnya.

Sindhu menggaruk kepalanya. "Gue baru tau Lo sukanya warna putih."

Sabrina tidak kuasa menahan semu merah di pipinya. Gadis itu juga tidak bisa berhenti tersenyum salah tingkah. Persetan dengan warna. Yang penting syal ini dari Sindhu. Baginya itu sudah lebih dari apapun. "Gue suka kok warna ungu." Ucap nya, yang diikuti suara batuk Dira di sebelahnya yang tersedak minuman nya sendiri. Dira menahan tertawa saat ini juga karena gadis itu tau Sabrina benci warna ungu.

Sabrina mencubit kecil pinggang Dira agar tidak mencetuskan kalimat kalimat yang terlarang saat ini.

"Oke kalau gitu gue lega. Karena jujur pas pilih ini gue bingung banget. Terus pas bayangin muka Lo, gue tiba tiba kebayang warna ungu."

Kalimat Sindhu berhasil membuat Dira yang berdiri di sebelahnya kembali menahan tawa.

Sabrina berjalan sambil menggenggam hadiah paling indah yang ia terima di hidupnya. Kado ulang tahun dari satu satunya orang yang paling ingin ia sebut.. pacar.

*****

Kemanapun Sabrina melangkah dan berjalan dalam hidupnya, sebenarnya... Ia tidak pernah benar benar lupa. Ada satu titik memori di dalam otaknya yang sengaja ia tutup mati matian dan ia tidak buka lagi. Tapi seakan memiliki batas kadaluarsa, pintu itu kini terbuka sendiri. Saat ia tidak memintanya. Tidak menginginkannya

Ada puluhan bahkan ratusan lamaran yang ia kirimkan dan berakhir dengan penolakan, lalu saat satu satunya lamaran yang menerimanya, mengapa harus ada lelaki itu disana? Seseorang yang paling ingin ia hapus dari ingatannya, seseorang yang seharusnya tidak penting lagi.

Tangan Sabrina bergetar saat menemukan benda itu disana. Di dalam kotak yang berukuran sedang, dengan posisi tergulung rapi. Syal berwarna ungu yang belum pernah ia pakai satu kali pun. Sabrina menelan ludahnya sarat lalu terduduk lemas di ranjangnya. Ingat, bukankah kini ada Rion yang bersamanya?

Sabrina menggumam dalam hati menyebutkan nama itu berkali kali. Rion Rezky Mahendra. Bukankah ia sangat mencintai laki laki itu?

Ponsel Sabrina berkedip menampilkan nama lelaki itu disana. Nama yang begitu muncul membuat dadanya sesak berkali kali lipat.

Aku udah di depan rumah. Udah siap ketemu papa.

Sabrina buru buru memasukkan syal itu ke dalam kotak tanpa melipatnya. Lalu menyimpan kotak itu ke sudut lemarinya. Orang yang seharusnya sangat gugup saat ini adalah Rion, tentu saja. Tapi mengapa justru dirinya yang merasa terdesak sekarang?

Langkah kaki terdengar dari atas saat Sabrina keluar kamarnya. Buru buru ia menuruni tangga satu per satu, secepat kilat menerobos ruang makan, ruang tengah, hingga ruang tamu. Langkahnya kalah cepat dengan papa yang sudah membuka pintu itu. Jantungnya berhenti saat itu juga.

Rion berdiri disana. Menampakkan senyum canggungnya sementara papa tak bergeming, datar, tidak menampakkan ekspresi apapun hingga ia tidak mampu menerjemahkan isi hatinya.

"Selamat malam, Om."

Papa berbalik badan lalu berjalan menuju satu sofa disana.

"Masuk." Ucapnya.

****"

Saudade LoopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang