"pesanan meja nomor tujuh..." Dunk berteriak lantang, bersamaan dengan sekelompok gadis tersenyum riang menenteng pesanan yang telah ia siapkan.
Dengan wajah ceria, penampilan rapi namun seadanya. Lelaki manis itu berjalan mondar-mandir, menenteng bungkusan bahkan paper bag coklat tipis berisi makanan ia letakkan berkali-kali. Gemericik suara lonceng menggema, para pengunjung mengambil pesanan mereka masing-masing.
Rutinitas panjang setiap jam delapan malam hingga dua pagi, Dunk tak lelah. Dia menyingkap poninya dengan hati-hati, kemudian mulai jeli membereskan tumpukan sampah di atas meja restoran cepat saji.
Beberapa dari tumpukan itu ia pisahkan, beberapa botol minuman di gulirnya keluar di depan restoran. Hingga semua telah beres, Dunk mencuci tangannya kembali masuk di ruang staff. Bincang-bincang panjang terdengar, dia tak terlalu ikut campur dengan keakraban pekerja disini, lebih tepatnya tak pintar membagi topik pembicaraan.
"Dunk sudah mau pulang?"
Sapaan basa-basi, hanya bisa membuatnya tersenyum kecil dan mengangguk. Begitulah hidup bagi Dunk, bagai permainan kecil diatas lembaran tebal monopoli. Dia hanya di permainkan, dan tak memiliki andil untuk meminta tempat.
Perjalanan dari tempatnya bekerja cukup dekat, perumahan kumuh yang dikontrakkan beberapa orang cukup membatu sejak dia tinggal di ibu kota. Dunk bukan anak sebatang kara, dia masih punya keluarga. Bahkan dua adik perempuan yang menjadi saudara tirinya, sejak sang ayah meninggal, Dunk merasakan hidupnya di ujung tanduk.
Dia mulai bekerja untuk pendidikannya, dan sang ibu sudah memiliki tanggungan lain. Bahkan ayah tirinya enggan menyisih uang untuk dia, dengan dalih Dunk sudah dewasa dan bukan darah dagingnya.
Cukup beruntung baginya, ukuran rumah sewaan yang sebenarnya lebih layak disebut kamar. Dunk tak jarang merasa miris, namun inilah jalan hidup.
Dengan tubuh lelah merasa tulang-belulang nya hampir patah, dia masih sempat meluruskan badan. Mata lentiknya tertutup, bersama dengan deru nafas teratur hampir hangat. Setengah tertidur, suara dering ponsel menggema kuat. Dia buru-buru menarik benda itu dari kantong tas, matanya mengerjap hingga rasa bahagia tiba-tiba menggerogoti hatinya.
"Halo... Ibu?" Dengan rasa gugup bercampur senang, dia mencoba tenang.
'kapan kau akan mengirim uang untuk adik-adik mu?'
Dia menghela nafas, mengangguk pelan seolah mengiyakan ucapan wanita paruh baya kesayangannya. Dengan wajah muram dia akhirnya menyelesaikan panggilan itu, matanya mengerjap dan akhirnya kembali merentangkan tubuh di atas karpet.
Kapan sang ibu akan bertanya tentang keadaannya? Hal yang menyakitkan namun nyata, dia merasa tak pernah dipedulikan. Terakhir kali, semuanya tak sama lagi. Sejak saat sang ayah dinyatakan meninggal dunia, ibunya bukanlah orang yang sama.
Sejak dimana hari itu pesta pernikahan lain digelar, dia tak pernah mendapatkan senyum yang sama lagi. Terakhir kali, dia melangkahkan kaki untuk pergi dari kota kelahirannya, tak ada satupun sanggahan untuk kepergian itu.
Sekarang bahkan dia sudah memiliki dua adik tiri, dan tidak tau dirinya suami baru sang ibu tak memiliki cukup pemasukan untuk membiayai dua pendatang baru dalam keluarga. Dunk hanya bisa terdiam, berkali-kali menerima makian dari ibunya bukan hal baru lagi saat terlambat mengirim uang.
Jika bukan karena ibunya, dia sudah pergi.
"Huff... Lelah sekali..."
.
.
.
.
.Pagi hari hampir siang, sosok manis nampak meraba raba sakunya dengan tenang mengumpulkan recehan untuk membayar di salah outlet agen salah satu bank. Matanya menelisik khawatir hingga senyumnya terbit, recehan yang lengkap tersuguh diatas meja. Dia mengangguki ucapan kasir, yang memberikan lembar bukti transfer padanya dengan cermat.
"Terima kasih..." Langkah pelan dengan posisi menunduk menyimak rentetan angka di atas kertas tipis itu, Dunk terus menghela nafas.
Kelasnya di mulai pagi ini, dan ada dua kelas lagi setelah siang. Dia masih menimbang-nimbang apa kiranya kegiatan yang bisa ia lakukan untuk menunggu kelas berikutnya, jika dia kembali ke rumah sewanya untuk beristirahat maka membutuhkan ongkos lagi.
Lambat laun semuanya jadi hal biasa, dimana ia akan menahan rasa lapar yang menggerogoti tubuhnya. Wajah tirus kurang tidur, ditambah dengan beban yang jika ditelaah sebenarnya itu bukan tanggungjawabnya. Cukup gila jika orang-orang tau dia bekerja untuk menafkahi adik-adik tirinya, tak pernah lupa mengirimkan uang setiap bulan dengan rutin hanya karena tak sanggup mendengar makian dari sang ibu sendiri.
Gila memang, namun terkadang takdir memang se jahat itu.
Langkah demi langkah terus menerus menjelajahi lantai gedung kampus, di salah satu arah Dunk mulai menaiki anak tangga. Kini rasa lelah dan tak fokus bertambah berkali-kali lipat, mengandalkan pegangan di pinggir dia masih berusaha sampai di depan pintu kelas.
Mahasiswa cukup ramai, dia sudah duduk tenang menanti dosen pembimbing. Suara gemuruh seolah menggambarkan ketergesaan dan rasa acuh luar biasa mencekam, Dunk sempat melirik postur tinggi dengan perawakan tampan duduk santai terkantuk-kantuk.
Mata si manis menyipit, mengoreksi lebih detail wajah pria di sampingnya. Ada banyak pertanyaan yang mengganjal, entah mengapa dia selalu mendapati lelaki itu datang dalam keadaan tak baik hampir setengah sadar.
Apa orang itu sama sepertinya? Pekerja keras yang bahkan tak kenal waktu? Tapi jika dilihat-lihat, orang ini nampak tak kekurangan seperti dirinya. Bahkan penampilannya Terkesan jauh lebih mewah di banding mahasiswa lain, Dew Jirawat lagi-lagi menjadi sosok yang tak pernah bisa ia ketahui lebih jauh.
.
.
.
.
.Sekitar pukul sebelas hampir siang, Dunk sudah melangkahkan kaki ke halaman belakang gedung kampus. Campuran rasa lelah dan lapar merupakan musuh bebuyutannya setiap hari, bukan tak mampu untuk sekedar membeli makanan, dia hanya merasa bahwa lebih baik jika bisa menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan lain terkait perkuliahan. Bukankah jauh lebih bagus jika dia bisa cepat menyelesaikan studi tanpa bergantung pada pekerjaan lagi, Dunk hanya berharap bisa secepatnya lulus kemudian memiliki pekerjaan tetap.
"Pencapaian yang indah..." Sembari bergumam mata lentiknya memejam, sedikit demi sedikit telapak tangannya dengan sabar mengusap perut. Bahkan saat punggung pria manis itu bersandar di salah satu kursi, tulang-tulangnya tak kunjung merasa lega.
Perutnya mulai mengeluarkan bunyi nyaring, bersamaan dengan hentakan kuat membuat Dunk terganggu. Matanya melotot, pria di kursi lain menyerngitkan dahi nampak tak nyaman pada kehadirannya.
"Apa-apaan? Jika kau lapar pergilah di kantin, jangan duduk disini. Suara perutmu menganggu tidur ku"
Dunk mengangguk pelan, kemudian menopang tubuh untuk bangkit dari kursi.
"Apa kau baik-baik saja?"
Pertanyaan lelaki itu membuat langkah kecil si manis berhenti, dia berbalik menghadap Dew yang terus mengusak mata habis bangun tidur.
"Apa kau tidak punya uang untuk makan?"
"Aku punya" sahut Dunk cukup singkat.
Dew berdiri, menarik bahu si manis kemudian tersenyum jahil "duduklah, dan tunggu aku kembali..."
Kira-kira satu meter didepan sana lelaki itu berjalan meninggalkannya, Dunk termangu. Untuk pertama kali, Dew lelaki aneh itu berbicara padanya. Dia kembali duduk, terus menyimak tempat itu. sebidang lahan yang sangat indah, bertebaran udara hangat dari berbagai arah.
Begitu menyenangkan ada di tempat ini, namun Dunk ingin cepat-cepat pergi dari sana. Sepertinya itulah mimpi utamanya, sayang sekali mimpi itu tidak mulus. Kini dia telah menghabiskan dua tahun panjang hanya untuk belajar dan hidup, hasil dari upayanya terus-menerus meleset sangat jauh.
"Ini..."
Dunk mendongak, kala sebuah tangan menyodorkan bungkusan kue hangat. Wajah Dew riang, tak seperti biasanya. Dunk menghela nafas, kemudian tersenyum mengangguk gembira. "Terima kasih Dew, terima kasih banyak..."
"Tak masalah, anggap saja ini untuk menjalin hubungan persahabatan..."
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Yeayy... Kita nyelam lagi di cerita terbaru versi Joongdunk, jangan bosan-bosan vote dan komen yah, hohohoho dijamin makin smngat kalau dapat komen dan vote kalian💛💛💛

KAMU SEDANG MEMBACA
Letter To Him [Joongdunk]18+[END]
Fanfic"dia telah mengingkari janji, bagaimana kau bisa menyalahkan ku atas segalanya?" Dew menunduk, meremat tangannya sendiri dengan kekecewaan yang dalam "ikutlah denganku Joong, dan kau akan tau siapa orang yang sebenarnya mencintai mu hingga akhir hid...