"Kak Adi mau dimasakin apa hari ini?" tanya Kinanti, istri siriku yang kunikahi karena rasa belas kasihanku padanya.
Kinanti adalah adik Melati. Aku menikahinya dua tahun lalu karena dia hamil dan kekasihnya meninggal dunia sebelum sempat bertanggung jawab. Atas dasar kasihan dan karena ingin menjaganya sebagai pengganti Melati, kuputuskan untuk menikahinya secara siri. Dan tentu saja tanpa sepengetahuan Anyelir yang saat itu masih berstatus istri sahku.
"Tidak usah. Malam ini aku tidak akan pulang," jawabku pelan tanpa menatapnya.
"Kakak kenapa sih?" Kinanti membanting sendok ke atas piring yang menimbulkan suara nyaring. Dia menatapku marah juga penuh kekecewaan. "Kita sudah menikah selama dua tahun, Kak. Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuk Kakak dan berusaha melayani Kak Adi dengan baik juga. Tapi kenapa Kak Adi masih seperti ini? Bersikap dingin padaku, seolah-olah aku bukan musuh Kakak," teriak Kinanti menggebu-gebu.
Untung saja, ayah mertuaku sedang membawa bayi Kinanti pergi jalan-jalan keliling komplek, sehingga tidak mendengar teriakan anak perempuannya ini.
"Aku tidak perlu menjawabnya bukan?" aku bertanya acuh tak acuh. Sungguh, aku sudah tidak peduli lagi Kinanti akan marah atau sedih karena sikapku. Bahkan, jika dia menggugat cerai, aku akan dengan senang hati akan mengabulkan permintaannya.
"Ya, aku tahu." Suaranya kini melunak. Tatapannya pun sudah tak setajam tadi. "Kak Adi begini karena masih sangat mencintai Kak Anyelir. Tapi, Kak Adi perlu tahu satu hal, meskipun kita berpisah, tidak ada jaminan jika Kak Anyelir bersedia rujuk kembali dengan Kak Adi, walaupun Kak Adi mengemis dan bersujud pada Kak Anyelir," katanya tersenyum dengan puas.
Aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas ucapan Kinanti. Kemudian aku berdiri, "Aku berangkat ya," pamitku kemudian.
Kinanti turut berdiri dan menghampiriku. Perempuan ini lantas menyalamiku, namun dia sama sekali tidak tersenyum. "Hati-hati."
Aku mengangguk sekali lagi. Namun kali ini aku tak mengusap kepalanya, seperti kebiasaanku selama ini padanya.
Aku bekerja seperti biasa. Mengunjungi salah satu restoranku, mengawasi kinerja para karyawan dan sesekali membantu mereka melayani tamu jika tamu sedang ramai. Kali ini, aku mengunjungi restoran yang terletak di sebuah Mall besar di jantung kota Jakarta.
Berdiskusi dengan manager dan head chef di sini. Setelahnya, aku hanya duduk di sudut ruangan untuk mengamati sembari membaca laporan bulanan dari seluruh bisnisku.
Tetapi baru beberapa menit, otakku sudah terdiktrasi oleh sosok Anyelir. Bagaimana kabar wanita itu sekarang? Sejak dua tahun lalu, wanita itu sama sekali tak bersedia menemuiku. Ketika aku menemui anak-anak, Anyelir akan bersembunyi, mengawasi dari jauh atau dia hanya menitipkan Lathif dan Reza pada asistennya.
Dari semua hal yang menyakitkan di dunia, didiamkan Anyelir selama dua tahun terakhir ini adalah hal paling menyakitkan untukku. Aku lebih memilih jika Anyelir memukulku, menamparku atau apa pun untuk meluapkan amarahnya. Dari pada dia mendiamkan dan menjauhiku seperti ini. Ini sungguh menyakitkan untukku, namun aku juga tak bisa berbuat banyak. Semua ini terjadi karena kebodohanku.
"Ini apa, A?" tanya Anyelir dua tahun lalu, menyerahkan lembaran kertas padaku.
Maniknya saat itu menatapku tajam namun juga diselimuti kaca-kaca tipis.
Aku menerima kertas-kertas tersebut dengan penuh rasa penasaran. Lantas betapa terkejutnya aku, begitu membaca tulisan di dalamnya. Ini adalah catatan rekening koran dari akun bank milikku. Di sana tertera seluruh transaksi yang sudah kulakukan. Termasuk riawayat transfer pada Kinanti yang tak terhitung dan selama ini kulakukan tanpa sepengetahuan Anyelir.
"Terkejut ya, A?" Anyelir bertanya dengan ekspresi datar.
"Aku bisa jelaskan semuanya, Sayang," kataku panik dan tidak ingin Anyelir salah paham padaku.
"Jelaskan apa? Ayo katakan?!" Baru kali itu kudapati Anyelir menatapku tajam dan terlihat begitu kecewa, selama pernikahan kami.
Semua salahku memang, yang sudah berkali-kali mentransfer uang pada Kinanti dalam jumlah yang tak sedikit. Namun aku juga memiliki alasan tersendiri untuk melakukan itu.
Aku merubah posisi dudukku, lebih dekat padanya. Saat aku berusaha menggenggam jemarinya, Anyelir menjauhkan tangannya dari jangkauanku. Aku paham itu, wanita ini pasti kecewa sekali padaku.
"Begini." Aku sedikit gugup untuk menjelaskannya. "Sebelum meninggal, Melati menitipkan Kinanti padaku, Anyelir. Aku sudah berjanji untuk menjaga dan membiayai sekolahnya. Oleh karena itu ...."
"Tapi bukan begini caranya. A Adi seharusnya mendiskusikannya denganku soal ini. Aku istrimu, yang berhak tahu kemana uangmu mengalir selain untuk membiayai keluarga kita! Apalagi, jumlah yang Aa berikan untuk Kinanti bukan uang sedikit. Kenapa harus seperti ini?" Anyelir berkata dengan suara bergetar yang membuatku semakin merasa bersalah.
"Aku minta maaf Anyelir. Selama ini aku sengaja tidak memberitahumu karena aku tidak ingin kamu kepikiran. Maaf, kalau akhirnya seperti ini."
Saat itu, setelah aku menjelaskan kondisi keluarga Kinanti yang hanya hidup dengan sang ayah yang menderita sakit stroke, Anyelir bersedia memaafkanku dengan syarat, aku harus memberitahunya apa pun yang kuberikan pada Kinanti.
Hingga beberapa bulan kemudian, sebuah badai kembali menghantam mahligai rumah tangga kami, hingga membuat rumah tangga kami berakhir di Pengadilan Agama.
Aku yang ceroboh dan bodoh memang, karena bersedia menikahi Kinanti karena rasa belas kasihan. Dan sebagai ganjarannya, aku harus merelakan Anyelir pergi dari hidupku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat itu, karena Anyelir bahkan tak bersedia untuk sekadar menatapku lagi.
"Akadmu dengan Kinanti sudah terlaksana. Apa pun alasannya, aku tidak akan mentolerir tindakanmu yang sudah menduakanku untuk kedua kalinya. Aku ingin kita bercerai dan aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, sampai kapan pun."
Dan itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Anyelir dua tahun lalu, karena setelah hari itu, Anyelir tidak bersedia berbicara denganku lagi.
Pantas lah, Anyelir sedemikian marah padaku, karena aku telah menyakitinya untuk kedua kali. Aku tahu, aku sangat pantas menerima semua ini. Namun aku merasakan kesedihan yang tak berujung setiap kali teringat sosoknya.
Sungguh, jauh dari lubuk hatiku terdalam, aku masih sangat begitu mencintai Anyelir. Jika waktu bisa diputar kembali, aku akan lebih memilih untuk mengabaikan rengekan dan ancaman Kinanti yang ingin bunuh diri jika aku tak menikahinya. Juga mengabaikan permohonan ayahnya. Dari pada aku harus kehilangan Anyelir seperti ini.
Namun kaca yang sudah terlanjur pecah, tak mungkin bisa disatukan kembali. Jalan satu-satunya hanya dibuang atau dipecahkan saja semuanya. Anyelir sudah terlanjur membenciku, dan aku sudah terlanjur menorehkan luka di hatinya untuk kedua kali.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Orang Ketiga
General FictionSekuel Orang Ketiga Bodohnya aku yang kembali menyakiti Anyelir untuk kedua kali.