Aku sedang membalas email salah satu supplier kain, ketika nertraku melihat bayangan sosok Anyelir. Aku mengikuti arah jalan sosok itu. Postur tubuh dan cara jalannya memang sangat mirip dengan Anyelir. Untuk memastikannya aku keluar dari area restoran dan mengikutinya. Anyelir tidak sendiri. Dia bersama dengan seorang wanita namun tidak berkerudung—yang kuyakini dia adalah Marta—sahabat Anyelir.
Saat mereka memasuki sebuah toko perhiasan lah, akhirnya aku bisa memastikan jika sosok itu adalah Anyelir. Meskipun aku hanya bisa melihat sisi samping wajahnya, namun bisa kupastikan dia memang Anyelir dan sahabatnya—Marta.
Aku tidak turut masuk ke toko perhiasan tersebut. Melainkan masuk ke toko pakaian di depannya, agar bisa mengawasi Anyelir dari jauh. Sungguh aku merindukan sosoknya. Aku merindukan kelembutan tutur katanya dan sikap manjanya padaku.
Gerimis hati ini bisa menyaksikan senyum indah itu lagi. Anyelir di seberang sana tengah tertawa bersama Marta. Meski jarak kami cukup jauh, namun aku masih bisa melihat senyumnya dengan jelas.
Entah membeli jenis perhiasan apa Anyelir di sana, tiga puluh menit kemudian, Anyelir dan Marta keluar dari toko perhiasan tersebut seraya menenteng paper bag. Aku kembali mengikuti mereka dengan mengenakan topi yang baru saja kubeli, agar tidak terlalu kentara oleh mereka.
Anyelir dan Marta masih terus berjalan di antara barisan outlet terkenal. Gamis yang dikenakannya terayun indah mengikuti irama kakinya. Anyelir masih sangat cantik, tentu saja. Tubuhnya masih langsing dan dia juga terlihat bahagia.
Aku yakin secara finansial, Anyelir memang tidak kekurangan. Karena belakangan kudengar bisnis pastry-nya yang dirintisnya pasca perceraian kami cukup sukses. Selain itu, untuk nafkah bagi Lathif dan Reza, aku juga rutin mentransfer setiap bulannya dengan jumlah yang kuyakin sangat cukup. Jadi wajar saja penampilan Anyelir tetap modis dan cantik.
Justru aku yang khawatir dengan penampilan Anyelir yang seperti itu akan menarik lawan jenis untuk mempersuntingnya. Rasanya, aku tidak akan sanggup jika harus menyaksikan Anyelir bersanding dengan pria lain. Meskipun Anyelir pantas mendapatkan suami yang hanya fokus dan mencintai dirinya seorang. Tidak sepertiku yang sibuk mengurusi Kinanti hingga berujung perceraianku dengan Anyelir.
Anyelir dan Marta masuk ke dalam sebuah restoran cepat saji. Aku yang masih merindukan Anyelir turut masuk kedalam restoran dengan posisi membelakangi Anyelir dan Marta. Sesekali aku menoleh untuk bisa melihat wajahnya lagi. Wajah yang selalu kurindukan selama dua tahun belakangan ini.
Rupanya, Anyelir menunggu kedatangan Lathif, Reza dan anak-anak Marta. Mereka segera memesan menu dan kemudian berbincang diselingi tawa. Anyelir nampak tertawa lepas, begitu pun dengan kedua putraku.
Aku pun turut tersenyum dengan posisi yang masih membelakangi mereka. Sejujurnya, sedih hati ini karena hanya bisa memandangi mereka dari jauh. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga aku mendatangi mereka dan muncul di hadapan Anyelir yang sudah sangat membenciku.
Setelah menghabiskan makananku, aku berdiri dan berniat meninggalkan restoran ini. Aku harus kembali ke restoran untuk melanjutkan pekerjaan. Namun saat hendak mencapai pintu restoran, sebuah panggilan untukku membuat langkahku terhenti.
"Papa." Suara Reza terdengar nyaring memecah keheningan restoran ini.
Aku menoleh pada sumber suara dan kudapati Reza yang kini berlari ke arahku. Manikku dan manik Anyelir sempat bertatapan sekejap, sebelum akhirnya Anyelir yang membuang muka lebih dulu.
"Papa ada di sini juga? Kenapa nggak makan bareng kita di sana?" Reza berusaha menarik tubuhku menuju mereka yang ditempati Anyelir dan lainnya.
Aku tersenyum kaku pada adik dari Lathif ini. "Papa sudah selesai makan, Nak. Papa harus lanjut kerja. Lain kali saja ya, kita makan bareng lagi," kataku berusaha memberi pengertian padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Orang Ketiga
General FictionSekuel Orang Ketiga Bodohnya aku yang kembali menyakiti Anyelir untuk kedua kali.