Episode 4

211 33 4
                                    

Kujalani hari-hariku seperti biasa. Lebih banyak di luar rumah untuk bekerja dan sesekali berkumpul dengan rekan-rekan pebisnis. Aku tidak betah berada di rumah karena malas mendengar rengekan Kinanti. Aku juga sengaja menghindarinya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di antara kami.
Entah lah, aku sedang mempertimbangkan saran dari Bapak dan Ibu untuk menceraikan Kinanti. Meski mungkin saat ini pernikahan kami sudah tidak sah lagi karena selama ini aku tidak menyentuhnya. Tapi memang aku belum pernah mengucapkan kata cerai pada adik dari Melati itu.
Pukul lima sore, aku menunggu kedua kenalanku di sebuah kafe. Kami membuat janji temu di sini untuk sekadar bertukar pengalaman seputar bisnis atau membahas hal lain.
Di salah satu sudut kafe, aku yang sudah datang lebih dulu menunggu mereka seraya membuat desain kaos untuk peluncuran produk baru clothing line milikku. Aku terbiasa bekerja di mana pun, karena aku memang harus kerja keras untuk menghidupi tiga keluarga. Terutama untuk membiayai kebutuhan Lathif dan Syahreza yang perbulannya kujatah sebesar lima puluh juta rupiah.
Kedua rekanku akhirnya tiba. Mereka masing-masing memesan kopi dan kami pun terlibat perbincangan seru membahas mengenai bisnis kami masing-masing. Mereka berdua kebetulan menggeluti bisnis di dunia otomotif. Bedanya, lelaki yang berambut gondrong fokus pada jual beli mobil bekas. Dan yang berambut pendek sepertiku menggeluti bisnis berbagai jenis aksesoris motor juga mobil.
“Saya mau pesan deh, kaus untuk souvenir pelanggan tokoku. Dua ratus pcs ya, Bung Adi,” ucap salah seorang rekanku yang berambut pendek.
“Ok siap. Mau bagaimana untuk desain logonya?” tanyaku, tersenyum senang karena niat hanya ingin cari angin justru mendapat orderan.
“Atur aja bagaimana, yang penting ada nama toko saya.”
“Siap kalau begitu. Terima kasih.”
Kami lanjut berbincang membicarakan berbagai hal yang tengah viral di media sosial, tentang politik, lantas merembet soal keluarga.
“Kapan-kapan boleh lah kita rencanakan liburan bareng keluarga ke luar kota. Seru kayaknya,” usul Sofyan—yang berambut gondrong.
“Boleh tuh.” Kamil yang berambut pendek menyahuti dengan begitu antusias. “Kalau bisa yang ada lokasi mancingnya, jadi kita bisa mancing selagi istri shopping atau ke spa.”
“Gimana Bung Adi, setuju tidak?” tanya Sofyan padaku.
“Saya tidak bisa janji ya bapak-bapak. Tapi nanti saya usahakan untuk bisa ikut liburan bersama,” kataku memilih jawaban aman. Karena sungguh aku tidak ingin mengajak Kinanti untuk berlibur bersama.
“Sebentar ya, saya jawab telepon dulu dari Ibu Negara.” Sofyan berdiri dan berjalan keluar untuk menjawab panggilan dari istrinya.
Tak berselang lama dia sudah duduk kembali di hadapanku.
“Ada apa dengan Ibu Negara, Bro?” tanya Kamil padanya.
“Ah ini, cuma ngingetin nanti pulangnya suruh mampir ke toko kue Anyelir, ambil pesanan.”
Toko kue milik Anyelir kah yang dimaksud?
“Oh, toko kue yang ada di ujung jalan sana ya?” tanya Kamil memastikan yang diangguki oleh Sofyan. “Saya tahu toko kue itu, karena anak saya doyan banget sama cromboloninya. Dan yang punyanya juga cantik sekali. Teteh Anyelir kan namanya? Sama seperti nama tokonya?”
Jadi benar yang dimaksud mereka adalah tokoh kue milik Anyelir. Dan mengapa aku merasa tak senang ketika Kamil memuji Anyelir?
“Iya benar, namanya Teteh Anyelir. Saya suka lihat videonya di Toktok waktu dia sedang live atau promosi tokonya. Orangnya cantik, ramah, murah senyum dan katanya juga single parent, lho, Bung,” kata Sofyan dengan ekspresi genit khas pria.
“Loh iya kah? Saya baru tahu kalau si Teteh single parent. Wah, wah, kalau dizinin nikah lagi sama yang di rumah, saya juga bersedia nikahin si Teteh itu. Nggak bakal rugi nikahin dia. Selain mandiri, salihah juga cantik.”
“Diam-diam aja nikahnya, Bung. Kalau ketahuan kan tinggal minta maaf sama yang di rumah. Terus kalau yang di rumah masih marah-marah dan minta pisah, tambah aja uang bulanannya, nanti juga bakal nurut dan merestui.”
Dadaku semakin terbakar api cemburu mendengar percakapan kedua rekanku ini. Tidak, aku sungguh tidak rela jika Anyelir dinikahi oleh salah satu dari mereka. Kalau pun pada akhirnya Anyelir menikah lagi, aku sungguh meminta pada Allah agar Anyelir dipertemukan dengan sosok pria yang begitu mencintai dan memuliakannya. Bukan seperti Sofyan dan Kamil, juga bukan sepertiku.

Hujan turun dan jalanan sangat padat pada malam hari ini. Motor dan mobil saling berebut melewati jalanan agar bisa tiba di rumah sesegera mungkin. Aku sendiri memilih untuk bersabar menunggu antrian mobil yang mengular melewati jalanan yang menggenang. Aku tidak sedang terburu-buru tiba di rumah, karena tidak ada orang spesial yang ingin kutemui begitu aku tiba.
Suara klakson kendaraan saling bersautan dan hujan turun semakin deras yang kini diiringi petir. Jalanan pun semakin padat dan antrian kendaran semakin mengular, terlihat dari Google Maps yang tersambung di layar monitor mobil.
Kuhembuskan napas panjang menunggu antrian agar mobilku bisa bergerak. Sayangnya, hingga sepuluh menit kemudian, mobilku dan mobil lainnya justru diam ditempat. Lantas beberapa saat kemudian, terdengar teriakan dan benturan yang cukup kencang dari jarak sekitar lima meter di depanku.
Saat kubuka kaca lebih lebar dan kutanya pengendara motor yang berada tepat di samping mobilku, baru kuketahui jika telah terjadi kecelakaan beruntun di depan sana. Mobil semakin tak bisa dijalankan, karena macet bertambah parah. Aku tetap berada di dalam mobil, seraya mendoakan semoga tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu dan macet segera terurai.
Hingga tiba-tiba kaca mobilku diketuk oleh seorang pria dengan pakaian kotor terkena lumpur. Kubuka kaca mobilku karena ingin tahu maksud pria itu mengetuknya.
“Ya, Pak, ada apa?” tanyaku kemudian.
“Pak, bisa minta tolong tidak ya. Tolong antarkan korban kecelakaan. Lukanya nggak begitu parah kok, Pak. Minta diantar pulang saja orangnya” jelas Bapak itu. “Tolong ya, Pak. Soalnya dari tadi belum ada yang bersedia bantu.”
“Oh, iya, silakan, Pak. Antar ke sini saja ya, Pak, orangnya,” sahutku tanpa ragu untuk menolong korban.
Korban dipapah dua orang pria menuju mobilku. Terlihat dari pakaiannya sepertinya seorang wanita. Pakaiannya basah kuyup dan sedikit kotor ketika dimasukkan ke dalam kendaraanku.
Dan entah aku harus bersyukur atau bagaimana, karena korban kecelakaan ini ternyata adalah Anyelir. Ya, Anyelir mantan istriku—ibu dari Lathif dan Syahreza.
Anyelir terluka dibagian tangan dan pipi yang sedikit tergores. Mata wanita itu terpejam dan sepertinya tengah menahan sakit, sehingga tidak terlalu mempedulikan keadaan sekitar dan tidak menyadari jika dia tengah berada di dalam mobilku. Mungkin jika Anyelir tahu dia berada di mobil ini dan aku lah yang akan mengantarnya pulang, dia pasti akan segera turun sembari menghunuskan tatapan mematikan untukku.
Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(Bukan) Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang