Garno pulang dengan tampang lesu. Tadi siang di kantor dia dipecat. Semua gara-gara salah pencet pasang aplikasi, kemudian isi formulir, kemudian dia dapat uang dengan gampang. Akibatnya, dia ketagihan.
Meski masih tinggal sendirian di sebuah kontrakan kecil yang dia teruskan dari ibunya yang sudah meninggal, Garno kebanyakan pengeluaran. Semua demi mendukung gaya hidup perkotaan. Kantornya di pusat kota. Jadi, demi mengimbangi rekan sejawat, dia harus ikut tren masa kini.
Memiliki barang ini itu dan nongkrong sana sini, bisa dilakukannya dengan mudah dari pencairan duit mudah itu. Hanya saja itu hanya berlangsung sebentar. Dia pusing karena gajinya tak cukup untuk menutup semua konsekuensinya.
Teror datang terus menerus sampai teman sekantornya jengah berbohong demi menutupi keberadaan Garno. Akhirnya berita pahit itu sampai ke telinga manajer dan hari itu juga Garno harus hengkang dari meja kerja.
Sementara teror hari itu masih mengintai. Dia jadi paranoid bahwa mata para penagih telah menantinya di setiap sudut jalur menujur rumah. Atau mungkin, sudah ada yang menunggu di sana. Garno merinding ngeri. Dia berjalan sampai berkeringat basah.
Lesu.
Lunglai.
Putus harapan.
Mau mati saja.
Ponselnya sengaja dia matikan. Bahkan dia buang ke sungai tempat orang-orang buang hajat dan sampah. Dia pengin kabur saja. Toh masih jomlo ini. Kalau mati ditabrak truk di tengah jalan, tidak ada yang bakal mencarinya. Kecuali... keluarga di desa nan jauh di sana.
Garno membatalkan niatnya untuk kabur.
Sepanjang perjalanan kaki lunglai itu pikirannya berkecamuk pada harapan-harapan konyol. Kalau saja dia kedapatan keajaiban bertemu artis sultan dan diberi rejeki nomplok, konsekuensi tolol yang dialaminya bisa diatasi. Tapi tampangnya belum cukup menjual sebagai konten mengharukan. Mana ada yang mau berkolaborasi dengannya.
Ya, Garno sempat menjajali bikin konten di sosial media. Tapi yang nonton tidak sampai lima puluh. Bikin dia patah semangat saja jadinya.
Jualan barang koleksi juga seret. Tidak ada yang tertarik karena semua orang sudah memilikinya.
Dia teringat teror-teror mengerikan dari setan-setan kredit. Ketakutannya kini berubah jadi kebencian. Dia mengutuk keras para setan itu. Terakhir, kepada dirinya sendiri. Dia berharap, saat disatroni di rumah, saat itu juga dia dihantam meteor.
Dia memantau berita pekan lalu, rumornya malam ini akan ada hujan meteor. Terbersit harapan, dia mendatangi musala lalu berdoa di sana, cukup lama.
"Meteor, bunuh aku dan para setan itu."
Sampai di kontrakan, benar saja sudah ada motor parkir banyak di depan. Ramai lagi oleh para tetangga yang kelewat penasaran. Mereka bahkan ngobrol dan ngopi bareng para setan itu. Para perpanjangan iblis yang leha-leha di gedung tak bernama yang berisi para minion tukang bentak-bentak.
"Meteor, datang sekarang juga."
Langit berubah gelap.
Gemuruh guntur berkecamuk.
Angin kencang menerbangkan kutang-kutang di jemuran.
Kokok ayam makin tak terkendali.
Bahkan semut bisa bersuara. "Kabuuur. Ada meteor!"
Para tetangga mulai menyelamatkan diri. Gegap gempita.
Garno tersenyum, berdiri sambil merentangkan tangan menyambut segala kemungkinan yang bakal terjadi. "Hantam aku, meteor!"
Aneh, dia coba mengintip, sementara orang-orang kalang kabut, ternyata para setan kredit itu tetap bertahan di tempat. Bahkan berdiri tenang. Mata mereka menyala biru terang bagai ujung petir yang mau menggosongkan jiwa-jiwa bangsat.
Bahkan saat meteor itu berdesing memekakkan telinga sampai membuat lubang kuping Garno berdarah, lalu menghantam tanah di antara Garno dan para setan, mereka tetap bergeming.
Garno sendiri tertiban meteor yang mendarat dan berakhir sebesar biji upil. Dia mengaduh.
"Jangan kebanyakan mimpi kau, bung!" kata para setan.
Garno memungul biji upil meteor itu. Dia melihat percikan listrik di dalam inti meteor itu. Garno dengan akal pendeknya, menelan biji upil meteor itu.
Dan sekarang para setan berdiri gemetar menyaksikan Garno berubah kulitnya menjadi keemasan. "Nih, aku lunasin," suara Garno kini terdengar begitu berat seperti cowok kelewat macho.
Sentuhan Garno mengubah tubuh para setan kredit itu menjadi emas. Terakhir, demi menuntaskan segala konsekuensi tolol ini, Garno ingin menjual dirinya.
Dia menyentuh hidungnya sendiri.
Berubah jadi emas, sama halnya dengan para setan.
Masalahnya, para tetangga yang mulai tenang karena gegap gempita mau kiamat sudah berkurang, menyentuh Garno, juga berakhir jadi patung emas.
Dan begitulah, berakhirnya bumi yang kita sayangi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
KURANG SERIBU
Kurzgeschichtenbiasanya kalau di sela-sela menulis intensif suatu proyek novel panjang, suka iseng muncul ide buat nulis kisah kisah pendek yang sableng. seperti yang pernah kutulis di kumcer Dongeng-Dongeng Pelintiran, LIDAH LEGENDARIS misalnya, di buku kumpulan...