"Sekarang kita harus gimana?"
"Kita cuma perlu berhenti."
"Bukannya yang kita lakuin itu salah?"
"Gak ada yang salah dari berhenti," kamu mengembuskan napas berat.
"Yang salah itu kalau kamu ngelukain."
"Tapi semua ini terlalu kejam untuk dilakukan secara mendadak."
"Apa kamu punya solusi yang lebih baik dari ini?"
"Kita bisa ngobrolin semuanya baik-baik. Kaya biasanya."
"Dalam kondisimu yang berdarah-darah seperti ini?"
"Kita.. bisa obati setelahnya."
"Hati yang malang."
"Aku tahu lebih dari siapapun bahwa kita sudah tidak sanggup. Ini saatnya kita berhenti."
"Kalau memang tidak sanggup, kenapa kita tidak mencari bantuan?"
"Apa kamu serius bertanya seperti itu? Kita ini satu, kamu juga tahu bahwa di luar bantuan Tuhan, tidak ada tangan-tangan yang datang untuk meraih kita. Mereka sibuk dengan kepentingan mereka, sementara kamu berharap diselamatkan!"
"Ya, aku tahu... tidak bisakah kita menunggu sedikit lagi? Aku yakin setelah ini akan ada bantuan yang datang."
"Berhentilah bersikap naif dan terlalu percaya diri. Aku yakin, bahkan setelah perdebatan ini mencuat, tidak ada yang akan bertanya soal kondisi apalagi kesehatan mentalmu. Kita berhasil bertahan sejauh ini hanya karena Allah menghendaki kita untuk mengumpulkan serpihan kewarasan dan memperbolehkan kita menjadikan-Nya tempat pulang di saat kita menangis kehilangan arah. Bahkan setelah kita terlalu jauh melangkah, Allah masih terlalu baik dengan memperbolehkan kita kembali untuk sembuh, jadi berhentilah berjalan di atas pecahan-pecahan yang membuatmu luka."
"Apa kamu yakin kita adalah satu orang yang sama? Tidakkah ucapanmu terlalu kejam, bahkan jika itu hanya kamu tujukan kepadaku?"
"Maaf. Aku begini karena aku menyayangimu."
"..."
"Jadi.. kamu maukan berhenti?"
"Tidak. Kita cuma perlu istirahat. Setelah sembuh, kita akan jalan lagi."
"Kenapa?"
Kamu menatap logikamu sungguh-sungguh, "Karena kita hidup berdampingan dengan rasa sakit. Dan kita tidak bisa selamanya menghindari itu."
"Ah-"
"Apa aku salah?"
"Tidak, kamu benar."
"Jadi, apa itu artinya kamu setuju bahwa kita hanya akan beristirahat?"
Logika bangkit dari tempatnya, "Ya, baiklah. Kita akan beristirahat sekarang."
Sebelum beranjak, ia menoleh dan mengucapkan kalimat terakhirnya, "Aku akan pergi mencari udara segar, aku harap dengan begini kita akan baik-baik saja ke depannya."
Kamu tersenyum, "Ya, aku juga berharap begitu."
****
Halo... halo.. halo.
Starta di sini. Saya tidak yakin bagaimana caranya saya harus menyapa kalian yang telah menyempatkan diri membaca tulisan ini. Saya benar-benar berterima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glorious Story
Short StoryBagaimanapun hidup berjalan, semuanya akan membentuk satu kisah yang suatu hari akan diceritakan.