Gojo tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Ayumi saat itu. Apa ia menunda perjodohan ini karena kondisi ayahnya, atau karena perbedaan pandangan mereka dalam melihat dunia?
Ayumi memiliki energi 'kehidupan' yang menjadi ciri khas klan Fujiwara, men...
Sesaat semuanya telah masuk dan menikmati makan malam yang menyenangkan. Alunan musik tradisional mengiringi acara, dan anak kecil yang berlarian kesana kemari untuk menangkap kunang-kunang, orang tua yang bercanda gurau sembari memandang tanaman yang dirawat sendiri oleh Putri Fujiwara.
Tetapi, bintang utama yang selalu dicari dan membuat acara ini ramai, tidak menampakkan sedikitpun kulitnya.
"Pelayan, dimana putriku sekarang?"
"Saat ini Hime sedang duduk di bawah pohon Fujiwara-Sama." Ujar ajudan yang selalu di sampingnya.
"Apa anda ingin menemui Ayumi, Ayah?" Tanya putra sulung keluarga Fujiwara. Ayato.
"Iya, tolong sambutlah tamu tamu yang akan datang, Ayato. Ayah percayakan tugas ini padamu." Kata Fujiwara sembari menepuk pundak tegap putranya.
Ayumi tidak selalu sendiri, hanya saja hari ini ia tidak ada energi untuk menyambut antusiasme orang lain. Karena itu, dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon apel.
Ketenangan Ayame sedikit berkurang, hadir Ayahnya membuat Ayame harus memperbaiki duduknya
"Kenapa putri tercantik ayah sendirian disini?" Tanya Fujiwara. Dia duduk di sebelah Ayumi, sembari mengelus kepala Ayumi yang seukuran telapak tangannya.
Ayumi hanya melirik, Fujiwara mengerti. Anak nya masih marah dengan kata-katanya kemarin.
"Apa kau masih marah dengan ayah?"
"Iya...." Ayame hanya melukis abstrak di tanah, cemburut. Tidak mau membahas apapun.
"Ayumi tidak ingin menikah secepat ini.."
"Gojo Satoru bukan orang baru, dan dia juga kuat. Ayah yakin dia bisa—
"Tapi menurut Ayame, dia masihlah asing ayah!" Ayame menyela kata Ayahnya. Ia menoleh dengan sorot sedih.
Ayahnya hanya diam, tidak biasanya anaknya menunjukkan sifat menolak seperti ini. Dia jadi teringat oleh mendiang istrinya dulu. "Ayumi, ayah minta maaf jika keputusan ini memberatkan mu. Tapi ayah tidak lama lagi akan menyusul ibumu, ayah harap sebelum mati aku bisa melihatmu menikah."
"Ayah akan hidup lama... ayah jangan bicara seperti itu, aku masih berusaha agar ayah cepat sembuh kok."
"Ayumi.."
Tangis Ayame tidak bisa dibendung, sedih. Sudah bukan rahasia lagi jika ayahnya mengidap penyakit yang tidak bisa disembuhkan, para tabib dan dokter sekalipun sudah berusaha untuk meracik berbagai macam obat, metode operasi sudah dijalani, namun ternyata, Tuhan sepertinya sudah menjadwalkan kepergian ayahnya.
"Ayah, selama ini Ayame selalu menuruti kata ayah.."
"Tapi jika ayah bersikeras untuk menjadikan Ayumi sebagai Nyonya Gojo, maka akan aku jalani dengan senang hati." Ayumi beranjak dari duduknya, lalu membungkukkan badannya ke Fujiwara.
"Ayumi ingin kembali ke kamar dulu ayah.. Oyasumi." Ayumi segera pergi, tanpa menengok ke belakang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ayumi pergi menuju kamarnya. Ia berjalan melewati sungai yang membentang diantara pekarangan Kediaman inti dan ruang kamarnya.
Sapaan dari para tamu undangan yang berpapasan menyapa telinganya dan dibalas Ayumi dengan senyum manis. Ah, sebaiknya ia cepat berjalan agar ia bisa beristirahat.
Walau senyum manis itu ampuh membuat orang lain terkecoh, bohong jika ia bilang baik baik aja. Tidak, pikirannya kalut. Tak perlu untuk diutarakan.
Perjodohan, kondisi ayahnya, kakak keduanya yang menghilang entah kemana..
Semua bertabrakan di kepala Ayumi, tiak lain sudah menjadi buah fikir untuk malam ini.
Langkah dari kaki kecilnya mengarah ke tempat sepi yang jarang ia lewati. Lewati jalan utama tnetu akan bertrubukan dengan sapaan para tamu undangan— Urgh! Sangat ingin dia hindari.
Mungkin saja, Ayumi bisa cepat sampai di kamarnya bila di depannya tidak ada makhluk albino bertutup kain hitam di matanya itu.
Oh, situasi yang canggung.
Ia melihat pria tersebut mulai merokok.
Pria itu—Gojou—menyalakan pemantik dan mendekatkannya ke rokok di mulutnya. Satu hembusan ia keluarkan sembari mengacak-acak rambut putihnya.
Aslinya sih, Gojou sudah tahu kalau dia diperhatikan. Hanya saja siapa ya yang lewat di tempat sepi seperti ini?
"Apa ada yang salah dengan wajah saya?"
"Ah!" Kaget. Ayumi memerah malu, kebiasaan memekik kaget dia kambuh. Malu sekali ia kepergok menatap pemuda itu, apalagi dengan posisi yang canggung begini.
"M-maaf!"
Gojou memutar pandangannya menatap si pengintip. Tertegun, raut wajah yang ditampilkan Gojou segera berubah drastis. Semburat merah terlukis di wajahnya.
'Oh, putri Fujiwara!'
Gojou kelabakan, rokok yang belum setengah dihisap ia buang asal. Kalut. segeri dibenahi penampilannya dengan raut gugup.
Ah sial! Mengapa aku jadi gugup begini?
"A-ah Hime-sama, selamat malam." Bungkuk Gojou dibalas pula oleh Ayumi.
Ayumi tersenyum menatap pria bersurai putih di depannya. Mata yang tertutupi oleh kain hitam dengan tinggi nya yang menjulang membuat Ayumi menatap pria itu intens.
Maklum saja, baru kali ini ia menemukan warna rambut seputih dia. Entahlah. Terlihat semakij bercahaya bila disoroti oleh cahaya rembulan.
"Hahaha, maafkan kelancangan saya ini," Gojou menginjak putung rokoknya yang sudah setengah. "Saya tidak menyangka anda akan berjalan kesini."
Ayumi mengernyit, "Ini rumahku, tuan. Tentu saya akan selalu berjalan lewat sini."
Kimono Ayumi berkilaun dibawah rembulan yang terang, cukup silau hingga membuat Gojou terpaku tolol.
"Haha." Gojou menggaruk tengkuknya,
Ayumi tetap tersenyum sopan, "Mengapa tidak dilanjutkan saja?"
"Oh? Lanjut merokok?"
"Iya. Lanjutin saja aktivitas anda yang di tunda itu" tawa kecil menyusul dari bibir Ayumi.
Sesaat Ayumi ingin memutar mengambil jalan lain, sebelum dihenti oleh genggaman si putih di tangannya.
"Apa Hime-sama tidak ingin berbincang-bincang sebentar?"
"Oh." Sebenarnya Ayumi tidak minat. "Tentu saja saya ingin." bohong.