Ini tentang seorang Adrienne Ivy Casia, gadis pintar matematika yang tidak ambisius akan sebuah nilai. Sayangnya kemampuan Ivy dalam melihat makhluk halus harus membuat gadis cantik itu berurusan dengan sosok hantu tampan yang meminta bantuan. Ivy y...
Peringatan! Silakan contoh apa pun yang baiknya dalam cerita ini
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bel istirahat telah berbunyi. Murid SMA Pucuk Impi berlomba-lomba menuju kantin. Di sekolah Ivy, kantin mereka itu terbagi menjadi tiga sesuai tingkat kelas. Ivy dan ketiga temannya itu segera beranjak dari kelas mereka untuk menuju kantin kelas dua belas. Ketika sampai di sana mereka sudah melihat Hazel yang tengah menduduki kursi kantin. Nampaknya Hazel lebih dulu keluar kelas.
"Hazel," panggil Vinca dengan berlari kecil mendahului teman-temannya yang lain.
"Kalian lama banget," keluh Hazel ketika Vinca dan yang lainnya telah sampai di meja kantin yang mereka tempati.
Alamanda duduk di samping kanan Hazel. Lalu Torenia di samping kiri Hazel. Ivy dan Vinca di seberang mereka bertiga. Ivy yang berhadapan dengan Alamanda, dan Vinca yang berhadapan dengan Torenia. Mereka duduk dengan tenang. Meski banyak pasang mata yang menatap mereka penuh kagum.
"Biasalah mata pelajaran Pak Riko. Harus sempurna untuk bisa keluar kelas. Menyebalkan!" berang Vinca. Jangan lupa meski Vinca mampu dalam bidang matematika, tetapi ia sangat malas berurusan dengan rumus. Bagi Vinca seni lebih dari jati dirinya.
Ivy memutar bola mata malas. "Menyebalkan tapi jadi orang kedua keluar kelas," cercanya.
"Siapa orang pertamanya emang?" tanya Hazel penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan si jenius Ivy kita." Alamanda menjawab dengan mengunyah permen yang ia bawa dari rumah.
Ivy tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu. Lagi pula ia mengerjakan cepat juga murni karena ingin cepat terbebas dari kelasnya Pak Riko. Bagi Ivy, gurunya itu terlalu menjengkelkan. Sangat mengintimidasi dan terlalu janggal untuk menjadi guru. Entah apa yang tengah Ivy rasakan itu. Namun, firasatnya mengatakan semua itu tidak akan berakhir baik.
Vinca mengebrak meja kantin dengan keras membuat pandangan murid lainnya menuju ke arah mereka. Melihat itu Vinca cengengesan, lalu menatap teman-temannya yang lain untuk menggerakkan badannya sedikit menunduk. Isyarat bahwa ia memohon maaf karena mengganggu ketenangan mereka.
"Lo ngapain, sih, gebrak meja segala!" kesal Alamanda. Hazel yang di samping Alamanda pun mengelus punggung Alamanda untuk bersabar.
Tak menghiraukan ucapan Alamanda yang kesal. Vinca menatap Hazel dengan lekat. "Lo harus tahu apa yang dilakukan si jenius Ivy kita ini." Tentu ucapan Vinca itu membuat Hazel mengerutkan keningnya bingung.
Meski kesal karena tak dihiraukan, Alamanda mengangguk menyetujui ucapan Vinca. Torenia hanya diam tak berekspresi apa pun, memang dasarnya kutub selatan. Berbeda dengan orang yang menjadi topik obrolan mereka. Ivy hanya berdecak mendengar itu. Lagipula ia tidak merasa berbuat di luar batas. Ivy hanya bertanya sesuai fakta. Memang reaksi teman-temannya saja yang lebih dari sekedar heboh.