Chapter 03

1 3 0
                                    

"Tuba" Aku menatap ke arah suara. Ibu sekarang berdiri di hadapanku. "Sudah kamu mengulang pelajaran sekolah hari ini? Liburan musim mungkin terlihat mesih lama, tapi ibu ingin kamu mempersiapkan dirimu untuk ujian kenaikan kelas. Ibu juga tidak melarang mu membaca, tapi lebih fokuslah dengan pelajaranmu sedikit!" Tekan ibu kepadaku. "Ibu pernah melihatmu bangun tengah malam dengan buku cerita, jangan sampai itu terulang kembali, atau buku cerita mu akan ibu sita, dan mulai sekarang ibu akan memberikan kuota untuk membaca buku ceritamu perharinya selama dua jam.

Aku mencoba menahan tangis dan menoleh melihat ayah, berharap ayah setidaknya dapat melunakkan ibu. Sementara Aleena hanya melemparkan pandangannya ke arah ibu dan kembali lagi padaku. "Tidak apa didi, kita bisa melanjutkannya besok." Sembari berjalan melingkarkankan kedua tangannya memeluk pinggangku. Setidaknya hal kecil yang Aleena berikan membawa pergi rasa khawatirku. Tinggi Aleena sekitar tinggi pinggangku.

"Tuba tak bertindak salah." Seru ayah menenangkan ku, "tak ada yang menyalahkan Tuba di sini, sekarang tutup buku cerita itu, kita akan membaca lain kali bersama ayah dan Aleena." Jelas ayah melihat raut muka ibu. "Ghauhar." Tegur ayah. Ibu memiliki arti nama yang indah 'permata' namun hatinya terkadang keras seperti batu. Mungkin karena ada sisipan kata batu sebelum kata permata.

"Biarkan aku melakukan ini, Ghufra." Kata ibu memperingatkan ayah. Dan aku bisa melihat ayah tidak akan mampu menang berdebat dengan ibu. Sebenarnya bukan tak mampu, tapi hanya saja ayah tidak suka mengeraskan suaranya, itu sangat cocok dengan arti nama ayah 'seorang pemaaf' sangat berbeda dengan ibu yang berwatak keras.

Ayahku tinggi dan tampan memiliki bola mata warna cokelat bening seperti diriku dan kulit ayah tidak terlalu gelap. Ayah memiliki warna rambut coklat emas. Rupa ayah seperti artis Bollywood di mataku. Ayah seorang yang lembut. Ibu kuat dan tukang perintah dan cantik. Ibu menyayangiku, Aleena dan ayah dengan carannya.

"Aleena." Tegas ayah. Sekarang biarkan didi kembali ke kamarnya, didi harus belajar dengan giat. Aleena tidak ingin melihat didi gagal dengan ujiannya bukan?" Bujuk ayah.

Aku menatap Aleena yang mengadah ke arah ku, "Tentu aku akan mendukung didi untuk memperoleh nilai terbaik, jangan khawatir didi, aku akan mengirim doa untukmu." Aleena tersenyum padaku.

"Didi percaya itu, doa Aleena pasti di terima oleh Allah, karna kamu memiliki hati yang baik. Sekarang didi akan ke atas." Kutingalkan Aleena bersama ayah dan ibu.

***

Aku mulai membuka buku pelajaran, kubuka lembaran demi lembaran buku pelajaran mencoba memahami setiap kata. Entah apa yang kurasakan, buliran air mataku turun dengan lembut membasahi kedua pipiku. Kuhentikan aktifitas tanganku.

Ibu menyusulku ke kamar sesaat kemudian, "Tuba." Ibu menyebut namaku dengan lembut. Ibu membawa segelas susu hangat dan beberapa cokies di piring keramik yang dicat berwarna merah dan hijau. Piring itu dihiasi gambar sepasang peri yamg pernah kulihat di dongeng Peter Pan. Sepasang peri yang sedang mengepakkan sayapnya dengan wajah senyumnya menatap kuncup mawar. menemani belajarku.

Ibu menekukkan lututnya untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Kali ini tatapannya sangat hangat, tatapan yang kurindukan akhir-akhir ini. Ibu menyodorkan Susu ke tangan kananku. aku bisa melihat bola matanya menatapku lekat-lekat setiap inci tubuhku. Aku bertambah 12 sentimeter dari tahun lalu. Kata orang aku memiliki rupa perpaduan ayah dan ibu, tapi menurutku aku lebih mirip ibuku, hanya warna bola mata ayah yang kurasa melekat di diriku. Supaya kamu bisa membayangkan ku, aku agak kurus tapi juga tidak terlalu berisi, aku tidak terlalu pendiam tetapi tidak terlalu berisik, aku hanya berisik dengan jalan pikiranku ketika aku sendiri. Aku selalu memakai kacamata, mata kiriku -1 dan kananku 0,5.

Tuba and Her Magic WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang