THE EVIL EMPEROR

97 22 2
                                    

THE EVIL EMPEROR

Bulan yang menggantung di langit itu telah melewati paripurna dan tengah menuju fase pudar. Cahayanya akan semakin benderang saat nanti dini hari tiba, sedangkan sekarang masih redup, tetapi masih mampu menerangi mayapada, dan sebelum cahaya itu benar-benar mencapai pudar, Wang Yibo tidak boleh berhenti melangkah meski sekadar melepas lelah.

Di setapak belantara kaki-kaki tangguh melangkah ringan, menjelajah tenangnya malam yang tak terusik oleh nyanyian serangga, tetapi uhu suara burung hantu cukup menghadirkan resah. Menatap langit, pemuda itu bisa merasakan sesuatu yang sangat samar mengalir di udara beresonansi dengan jiwanya. Entah apa, tetapi cukup untuk membuat dadanya berdebar-debar.

Namun, kegelisahan yang tidak jelas asal-muasalnya itu tidak lantas membuat ayunan kakinya goyah ataupun ragu. Wang Yibo tahu betul apa yang akan dihadapi ketika Zhou Chenhai telah memutuskannya untuk turun gunung. Jadi, dia pun sudah siap lahir batin.

Akan ada saatnya goda datang dan merayumu untuk abai terhadap ketetapan dan tujuan. Jangan hiraukan. Tapi juga akan datang saat di mana kamu harus menyerah jika menyangkut kebajikan yang lebih besar. Bijak-bijaklah mengambil keputusan.

Begitulah Zhou Chenhai berpesan dan Wang Yibo sangat mengerti maksudnya. Bibir pemuda itu pun melengkung tipis dan ketika kembali menatap ke depan, tersirat tekat yang kuat.

"Aku tidak bisa mencegah kamu datang, tapi kamu juga tidak akan bisa memaksaku untuk mengikutimu." Dia bergumam, berbicara pada gelisah yang menggerayangi jiwa, tengah berusaha membuat tekad serta langkahnya goyah.

Tidak Wang Yibo sadari bahwa setelah dia mengucapkan kalimat tersebut, setiap entakan langkahnya menciptakan getaran yang secara ajaib mampu merambat sampai ke tempat yang sangat jauh. Tempat di mana pucuk-pucuk atap istana Kekaisaran Di Xiang Shìjìe tampak menghitam di latar ilam-ilam.

Silir angin menebas hampa, melaju tenang membawa serta dedaunan yang telah rapuh, lalu mencampakkannya di permukaan air yang memantulkan semarak langit bertabur bintang. Sungai luas dibangun melingkari istana, bertindak sebagai batas antara bangsawan dan rakyat jelata---tidak segan mempertontonkan kesenjangan---juga sebagai tameng agar sang raja yang menderita kegelisahan bisa merasa aman juga bisa tidur lelap. Namun sayangnya, sungai itu tidak mampu menghalangi hantu mimpi datang untuk mengusik.

Tubuh Kaisar Wang Xenshiang yang terbaring sendirian di atas pembaringan beralas sutra keemasan tiba-tiba mengejang. Mata yang terpejam pun berkerut, dahi mengernyit dan mulai berpeluh. Bahkan tarikan napas juga mulai ngos-ngosan.

Di alam mimpi, sepasang kaki raksasa tanpa tubuh mengejar, Kaisar Wang Xenshiang berlari tunggang langgang untuk menghindar. Sambil sesekali menoleh mempertontonkan wajah pucat penuh kengerian, tubuhnya pun kerap terhuyung-huyung karena tersandung bebatuan atau tersangkut akar.

"Waktumu hampir tiba, durjana. Mautmu sedang dalam perjalanan."

Suara tanpa rupa menggaung di udara, memantul saling bersahutan seperti gelombang dahsyat tak kasatmata yang tidak hanya mengejar, tetapi juga menghadang. Seperti menabrak pegas, tubuh Kaisar Wang Xenshiang tiba-tiba terpental mundur, lalu kembali terpental ke depan. Kaki tidak mampu berpijak dengan benar, akhirnya tubuh kaisar pun ambruk dengan lutut menapak pijakan penuh kerikil tajam.

"Aaarrrggghhh!" Lolong memilukan seolah mengoyak kesunyian padang lapang tanpa pepohonan. Benar-benar tidak ada satu pohon pun, tetapi akar-akar besar ada di mana-mana. Alih-alih rumput maupun pasir, sejauh mata memandang hanya ada batu kerikil tajam berserak di antara akar.

"Dia yang lahir dari satu-satunya perempuan dalam silsilah adalah pilihan semesta. Cari dia, buru, bunuh sebelum terbunuh ...."

"Lihatlah dirimu, Wang Xenshiang. Menyedihkan."

The Long Journey [Ready PDF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang