Written by HasrianiHamz
🍄🍄🍄🍄
"Sera, nda usah ikut, ya."
Entah sudah keberapa kali ia mengatakan kalimat itu. Namun, aku juga tetap berkeras tidak akan menolak permintaan senior. Apa lagi ini untuk kepentingan orang banyak. Alasan apa dan dari siapa pun tidak akan bisa mengubah keputusanku, sekali pun itu seorang Rasyad.
"Jadi, besok kita kumpul di Sekret Cabang, ya. Ingat jam enam pagi sudah harus di sana, besok juga kamu dijemput Dito."
"Siap, Bang."
Tanpa keraguan sama sekali kujawab dengan tegas agar Rasyad juga mendengar betapa semangatnya aku dengan tugas ini.
"Eh, besok Arsyra bisa pakai jeans aja, 'kan? Kita harus jaga-jaga, Dek, orang-orang Cabang biasanya tidak bertanggung jawab kalau sudah mulai chaos."
Mendengarnya saja, aku sudah sedikit tegang. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Tapi bukankah aku memiliki senior yang begitu peduli dan menyayangiku. Rasanya tidak mungkin mereka akan membiarkanku dikorbankan. Sudah pasti mereka telah mempertimbangkan ini semua sebelum menyetujuinya, 'kan?
"Ya sudah, coba tanyakan siapa korlapnya?" Suara Rasyad di seberang telepon kembali menyadarkanku.
Ya. Aku memang harus tahu terlebih dahulu siapa korlapnya, agar bisa mengenali dan berjaga-jaga kemungkinan terburuk yang akan terjadi ketika bersamanya.
"Siapa korlapnya, Bang?"
"Karena ini adalah aliansi masyarakat, artinya semua organisasi tergabung di dalamnya. Dan korlapnya itu dari GMNI kalau bukan PMII, nanti mereka mengaturnya, yang pasti kita hanya menunjuk Arsyra saja sebagai perwakilan dari Himpunan," jelasnya membuat nyaliku sedikit down.
Bagaimana mungkin, mereka bisa mempercayaiku sebagai perwakilan sendiri. Padahal aksi kali ini terbilang besar dari aksi yang pernah ada sebelumnya. Apa mereka lupa kalau aku hanya anak baru yang dipaksa dewasa saat berada di sini.
Menunggu kak Rizal pergi lebih dulu barulah aku meninggalkan tempat itu. Sambil tetap terhubung dengan Rasyad, aku mengendarai motorku menuju ke kost karena paham jika ia bosan pasti akan mematikannya sendiri panggilannya. Jarak tempuh hanya berapa puluh meter, hingga tidak perlu memakan waktu banyak untuk tiba di rumah ternyaman ini.
"Besok, saya juga turun aksi," sahut Rasyad tiba-tiba saat aku mengeluarkan benda pipih itu dari saku jaketku, padahal aku pikir dia sudah mematikan sambungan teleponnya dari tadi.
"Iya, 'kan memang ini aksinya serentak se-Indonesia," balasku seadanya.
Bukan karena aku cuek, hanya saja aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain itu. Aku selalu kalah menyusun kalimat jika berhadapan dengan Rasyad, rasanya aku jadi fakir diksi saat sudah berbicara dengannya.
"Kalau Sera juga turun, nanti fokusnya terbagi."
Aku tertawa, boleh? Tapi aku tidak akan melakukan itu. Aku tahu yang ia maksud bukan aku, tapi dirinya. Kali ini biar aku tunjukkan bagaimana feeling seorang perempuan.
Bohong, jika selama ini aku tidak bisa merasakan lelaki mana yang mencoba mendekat dengan rasa. Aku telah berteman dengan banyak lelaki dan cukup bisa merasakan perbedaan dari mereka semua. Akan tetapi, baru kali ini aku merasa levelnya lebih dari itu. Hanya dari Rasyad, rasa khawatir itu benar-benar sampai. Peduli dan candaannya yang natural jauh dari kesan dipaksakan. Ya, terlepas dari apakah hanya aku atau semua temannya diperlakukan seperti itu. Yang pasti, ia adalah orang yang tulus dalam penilaianku.
Panggilannya beralih ke video, menampilkan wajah lelaki dengan aura dingin di seberang sana.
"Besok, Sera hati-hati aa. Perlu dipertanyakan juga kelaki-lakiannya senior di situ sebenarnya. Bisa-bisanya aksi seperti ini yang dipasang malah perempuan."
"Iya, aku 'kan selalu hati-hati orangnya. Ini juga sudah keberapa kalinya ikut aksi, tapi aku juga masih ketemu sama Rasyad, 'kan?"
"Beda!" Jedanya tanpa menatapku, sepertinya ia tengah menulis sesuatu di sana. "Aksi ini aparatnya satu komando dari atas, dipastikan kantor DPRD dan Polres dijaga seketat mungkin. Jangankan luka, kemungkinan terbesarnya akan ada beberapa massa yang dikorbankan untuk menakuti mahasiswa lain."
Penjelasannya cukup rumit, terlalu luas yang ingin dijelajahi dan agak berat untuk dicerna oleh otak kerdil sepertiku. Ingin kusanggah pernyataannya, tapi aku tidak bisa asal memberikan komentar. Lawan bicaraku sepertinya mencoba menunjukkan sisi lain dari dirinya yang selama ini kukenal.
Kulihat ia berdiri dengan sebuah pulpen di tangannya. Mengatur stand ponsel lalu memperlihatkan sebuah withboard yang sudah penuh dengan coretan. Gila, di kamarnya saja ia punya papan tulis! Aku menganggukkan kepala, menyadari jika orang ini memang bukan seperti manusia biasa lainnya.
"Ini jelas ji kelihatan, toh?"
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk dengan suara pelan menjawabnya.
"Nah ini," katanya sembari tangannya mulai melingkari tulisan penguasa di papan tulis itu. "Sudah dianggap Tuhan oleh orang-orang yang haus kekayaan, jadi orang-orang di bawah sini siap melakukan apa pun untuk menjaga si penguasa ini tadi. Dengan atau tanpa perintahnya. Karena orang-orang ini akan berpikir, perut mereka tidak akan kenyang jika orang di atasnya itu hilang. Sehingga mereka ini rela melakukan apa saja, termasuk membunuh orang-orang yang dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Maka dari itu, yang jadi sasaran utama adalah Korlap dan Askorlapnya. Kenapa? Karena tidak sembarang orang yang bisa berdiri dan menyuarakan aspirasi rakyat, sehingga orang-orang ini dianggap pemberani dan merasa terancamlah mereka," jelasnya sembari terus menghubungkan beberapa garis satu dengan lainnya.
Aku tercengang dengan skema yang baru saja ia jelaskan. Seketika ribuan pertanyaan muncul di kepalaku. Siapa sebenarnya Rasyad ini? Kenapa ia bisa menjelaskan sedetail dan semasuk akal itu? Seniorku yang bahkan kader pertama di kota ini pun belum tentu bisa sepertinya.
"Jadi, besok hati-hati nah. Jangan terlalu berlebihan orasinya. Nanti malam pi kukirimkan triknya kalau sewaktu-waktu terjadi chaos."
Perhatian sekecil ini saja sudah cukup membuatku merasa bahwa ia memang begitu peduli.
"Tunggu dulu, dari mana Rasyad bisa tahu?"
Akhirnya pertanyaan itu dengan mudah keluar dari bibir yang agak gugup ini.
"Bapakku pengusaha di salah satu kantor cabang, kakak laki-lakiku salah satu Kapolres yang bertugas di Makassar dan kakak perempuanku juga kerja di Bank. Dari mereka saya bisa belajar banyak dan mencoba mengkaji sendiri keadaan kita saat ini."
"Eh, kita?"
"Ya, kita. Orang Indonesia, toh?" Jawabnya dengan senyum khas seorang Rasyad.
"Rasyad nah, aku kiranya mikirin aku aja."
"Hahaha ... dipikir ji juga tapi jangan egois, Negara sedang tidak baik-baik saja, Sera," ucapnya seraya tersenyum dan menaikkan alis.
Maaf, aku hanya berusaha mengembalikan suasana yang hangat dengan candaan seperti itu. Tapi sepertinya ia terlajur serius, ternyata aku tidak sepenting itu untuknya.
Sera. Apa yang kamu pikirkan? Ingat, kamu hanya orang baru dalam hidupnya, bagaimana mungkin kamu bisa berpikir seperti itu. Ayolah, jangan mengundang orang lain untuk menertawakan hidupmu yang memprihatinkan ini.
••°••°••°••°••°••°••

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa [On Going]
Fiksi RemajaBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...