*The Two of Us: Part II*

1.7K 67 7
                                    

Nora menggeram sembari menahan amarahnya yang memuncak. Sudah tujuh kali ia mencoba menelpon Jesse tapi tidak tersambung. Aku bakal kabari kamu selalu. Apanya?! Batin Nora jengkel. Bahkan kita belum berbicara satu sama lain sejak seminggu yang lalu. Sesibuk apa kamu disana sampai lupa ada aku disini?

Nora Estrada 07.48PM

Km dmn?!


Dan bahkan chat ke Jesse hanya centang satu, ditelpon nomor biasa juga tidak tersambung. Harus sesabar apa aku sama kamu, Jess? Nora mengetukkan ponselnya ke keningnya dan menghela nafas panjang dan berat.

Di tiga bulan awal kepergian Jesse ke Riau mereka masih intens berkomunikasi, tidak ada kendala yang berarti selama ini. Dan ketika memasuki bulan keempat, Jesse semakin sulit dijangkau, entah karena alasan apa. Jesse mengabarinya hanya pada saat bangun tidur sebelum kerja, makan siang, dan setelah pulang kerja. Ia bahkan jarang mendapatkan ucapan selamat tidur dari kekasihnya itu sekarang.

Getaran dan deringan di ponselnya membuat Nora terkejut, ia melihat layar ponselnya dan nama Jesse terpampang di depan matanya. Ia seharusnya senang, ia seharusnya bahagia karena bisa berbicara dengan kekasihnya, namun ia sudah menahan amarahnya seminggu ini dan ia berharap kepada dirinya sendiri agar tidak melampiaskan kekesalannya kepada orang yang sudah membuatnya marah ini.

"Hai, baby." Sapa Jesse, hanya dengan mendengar suaranya saja Nora tahu jika Jesse sedang lelah, tapi amarahnya lebih besar daripada rasa rindunya sekarang.

"Hai." Sahut Nora singkat, tidak tertarik berbicara kepada Jesse malam ini.

Jesse mendesah pelan di seberang sana. "Aku tahu kamu marah sama aku, tapi aku bisa jelasin kalau kamu mau dengerin. Aku yakin kamu sekarang pasti nggak-"

"Seminggu, Jess. Seminggu! Kamu pikir aku apaan?!" Potong Nora tidak sabar. "Aku setiap hari nunggu kabar dari kamu yang bahkan kadang kamu nggak ada kabar sama sekali. Kamu sendiri yang bilang bakal ngabarin aku terus. Nyatanya apa? Cuma tiga kali dalam satu hari aku dapat kabar dari kamu."

"Ra, Sayang, dengerin dulu, ya?" Pinta Jesse. "Disana susah sinyal, aku cuma dapat sinyal di mess sedangkan kamu tahu setiap hari aku harus ke lapangan karena aku nggak cuma harus cek kebun tapi juga papa ada proyek membangun jembatan dan rumah-rumah untuk karyawan. Itupun kadang di mess nggak ada sinyal apalagi pas hujan. Disini musim nggak tentu, Ra. Kadang baru panas satu jam, satu detik kemudian hujan."

Nora diam sejenak, mengendalikan nafasnya yang sudah mulai ingin meledak-ledak. "Terus sekarang kenapa kita bisa telponan lancar bahkan nggak putus-putus sinyalnya kayak biasanya?"

Jesse tersenyum di seberang sana. "Aku pergi ke Pekanbaru, Ra. Aku ambil libur 3 hari."

"Kamu dimana sekarang?" Tanya Nora lebih lanjut.

"Di daerah Jalan Sudirman. Kenapa?"

"Sama siapa?"

"Sendirian. Pak Beni balik ke mess. Kenapa?"

"Kamu bisa pergi ke Pekanbaru setiap berapa minggu sekali?"

"Tiga bulan sekali mungkin."

Nora memutar bola matanya malas. "Dan besok aku ditinggal lagi tanpa kabar. Lama-lama aku mikir kamu bukan nggak ada sinyal tapi karena-"

"Ra, stop. Jangan sampai tuduhan kamu itu terdengar sama aku." Kini ganti Jesse yang menahan amarahnya. "Kamu pikir ini mudah buat aku? Aku tinggal di tengah hutan yang jaraknya setengah jam hanya untuk mau cari makan di kedai. Butuh waktu tiga sampai empat jam setengah untuk sampai ke jalan raya dan itu pikiran kamu tentang aku disini? Aku mau pakai jaringan negara-pun kalau memang sinyal nggak ada ya memang nggak ada!"

One-Shot Compilation (gxg) (on-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang