*Untitled*

1K 62 6
                                    

Alya terburu-buru memasuki bank yang ia tuju karena sudah mepet waktunya. Kemeja hitam, jins hitam dan kacamata hitamnya menemani sore yang gerimis itu. Dengan segera ia mengambil antrian, berharap masih ada kesempatan untuk mengurus ATM-nya yang tertelan.

Membunuh waktu dengan bermain sosial media-nya membuat Alya tidak sadar jika sekarang adalah gilirannya menghadap customer service. Dengan perlahan sembari menyimpan ponselnya ke saku belakang celananya, ia menuju meja customer service nomor 6, paling ujung sendiri.

Namun saat ia sudah berhadapan dengan customer service yang bersangkutan, ia malah mematung. Begitu juga dengan customer service bank itu. Sapaan yang seharusnya ia ucapkan tak lagi diindahkannya. Bibirnya terlalu kelu. Tangannya terlalu kaku. Dan matanya membeku, menatap mata yang sudah sekian lama tidak ia pandangi, semenjak.. 7 tahun yang lalu.

"Selamat sore, saya Stefani, silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu?" Suara customer service itu mengembalikan kesadaran Alya yang sempat menguap di udara.

"Saya mau mengurus ATM saya yang tertelan." Jawab Alya seraya duduk, dengan suaranya yang terdengar sangat datar dan hampir tanpa nada.

"Baik, boleh saya pinjam KTP-nya untuk pengecekan, Ibu?" Setengah mati Stefani berusaha ramah kepada wanita yang pernah mengisi ingatannya di masa putih abu-abu.

Alya mengambil dompetnya, namun tatapan matanya tidak sedikitpun berpaling dari mata wanita yang berada di hadapannya, seperti menantangnya. Tapi lawan bicaranya sedikitpun tidak terpengaruh oleh tindakannya, ia harus tetap profesional di tempat kerjanya.

"Baik, saya cek dulu ya, Bu." Stefani menerima KTP Alya dan sedikit meremasnya entah mengapa.

Alya menyandarkan punggungnya, cuek, matanya masih menatap wajah mantan sahabatnya yang sedang menyibukkan dirinya di balik layar komputer, berusaha menghindari interaksi dengannya lebih lama.

Alya menggigit punggung-punggung jarinya, ingatannya tiba-tiba melayang ke masa putih abu-abunya ketika ia merasakan sebuah kebahagiaan yang mutlak ketika sedang bersama dengan Stefani.

Namun juga direnggutnya dengan seketika saat semuanya kembali ke hadapan takdir yang menentukan nasib mereka berdua.

"Kamu bilang kita mau kuliah bareng di Surabaya?! Kenapa tiba-tiba kamu memutuskan untuk ke Bandung, hah?!" Tanya Alya tidak terima, Stefani duduk di bibir kasurnya dengan pandangan menunduk, takut. "Kamu udah janji sama aku, Stef!"

"Aku nggak bisa nolak keinginan orang tuaku, Al. Papa dan mama yang nyuruh aku kesana." Bantah Stefani, mendongak, menemukan raut kemarahan di wajah Alya, sahabatnya.

"Bohong! Aku tahu kamu mau ke Bandung karena Erdo juga mau kuliah disana, 'kan?!" Todong Alya, kening Stefani berkerut.

"Kenapa jadi bawa-bawa Erdo?" Tanya Stefani bingung.

Alya tidak menjawab, dadanya naik-turun mengatur nafasnya yang membuatnya seperti habis lari maraton. Tatapannya menusuk Stefani yang masih cemberut tidak suka.

"Al, aku tahu kita sahabatan dari kelas 1, dan selama itu kita selalu barengan terus, kita nggak terpisahkan, bahkan orang-orang melihat kita seperti orang kembar, tapi kalau ini yang harus dijalani, kenapa kamu seolah-olah nggak ikhlas aku pergi?" Tanya Stefani hati-hati.

"Aku nggak ikhlas kamu di Bandung sama Erdo! Kamu lebih memilih dia daripada aku!"

Di detik kata-kata itu terucap, baik Alya dan Stefani sama-sama tidak bisa menyembunyikan kekagetan mereka. Terlebih Alya, ia sampai menutup mulutnya karena keceplosan.

"Hah?" Stefani tidak mempercayai pendengarannya.

"Nggak, nggak lupain." Alya mengibaskan tangannya.

One-Shot Compilation (gxg) (on-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang